Senandung Sera

Banyak kisah yang harusnya jadi rahasia kita berdua.

Proyek gegabah sebagai bentuk perayaan post-drama depression #OurBelovedSummer.

Introducing: Choi Wooshik sebagai Edgar Chadhuri. Kim Dami sebagai Amy Dellastra.


“Spill.” Suara kayu terketuk oleh bagian bawah gelas kaca membuat Eddie berhenti dari kegiatannya. Es teh manis. Memang kalau sedang berpergian jauh, Amy selalu memilih minuman itu. Kombinasi udara sore dan teh selalu mengingatkannya dengan rumah nenek.

Eddie mengambil si gelas. Embun dari es yang beradu dengan hawa panas air teko sebelumnya kini menetes ke sela-sela jari. Rasa manis keterlaluan—karena memang begitu cara Amy menikmati teh manis—merebak ke rongga leher Eddie sampai membuat matanya lebih menyipit. “Apa yang harus di-spill? Teh-nya?

“Ya, bukan, dong.” Amy menyingkap kaki Eddie, menyisakan ruang lebar baginya untuk duduk. Ternyata, Eddie memakan cukup banyak tempat di sofa mini karavan mereka. Buktinya, Amy langsung bisa menyilangkan dua lututnya setelah itu. “Tapi kalau kamu mau buang teh-nya karena kemanisan lagi, mending kasih ke aku aja. Kebetulan beberapa hari ini aku darah rendah.”

“Syukurlah,” Eddie menjauhkan gelas tehnya yang tidak kalong lebih dari tiga senti, “aku kira kamu mau ngasih aku kolesterol.”

Beberapa hari yang lalu—tepatnya, dua hari—permintaan mendadak dari Eddie datang lewat pop-up notifikasi Amy. Ayo jalan-jalan. Ajakannya semudah menghirup asap knalpot ibu kota. Bagian sulitnya adalah syarat yang mengikuti, apa lagi itu baru diutarakan Eddie sehari sebelumnya. Naik caravan. Seminguuu aja.

Seminggu. Bagi Amy si penulis serabutan, sih, memang tidak masalah. Namun, keadaan Si Pacar yang kerap mendapat panggilan untuk melakukan photoshoot justru menjadi saklar rusak dari lampu ide Amy. Ia menyadari, sesuatu pasti ada yang salah. Sebab mengenal Eddie selama tiga tahun, default pertahanan pria itu memang berlari.

Setelah berkendara cukup jauh ke arah utara—menurut ulasan yang didapati Eddie setelah berselancar di reddit, daerah itu penuh dengan perbukitan—mereka menemukan tempat istirahat. Di tengah hutan rindang cemara. Di tengah antah berantah. Di tengah waktu burung anis bercicit menyambut senja.

“What exactly made you run this time?” tanya Amy untuk yang kesekian kali. Ia melepas ikatan rambut. Udara sejuk perbukitan membuat lehernya dingin. Beruntung setelan baju sweater putih gading dan celana panjang jeans-nya mengurus bagian tubuh yang lain.

Eddie bangkit dari dinding karavan, kemudian bersila supaya mereka berhadapan. Sebagian besar, Eddie memang ingin menyimak gerak-gerik Amy. Sebagian kecil dari dirinya melakukan itu agar si pacar tau ia serius. “Kerjaan,” jawab Eddie sederhana. Ia memangku dagu. Kuku jari telunjuk dan jari tengahnya digigiti secara tidak sadar.

“Bohong,” Amy mengambil tangan itu, menjauhkan kukunya agar tidak semakin keropos.

“Serius.”

“Kamu bukan tipe orang yang kabur karena kerjaan numpuk. Kamu suka kerja.”

“Aku suka kerja kalau ada tujuannya.” Eddie menghela napas. Sepertinya memang cepat atau lambat, Amy mampu membuat batinnya berteriak. Sambil melucuti sisa benang dari rompi wol birunya, ia melanjutkan, “Entah kenapa makin ke sini, kok, kayaknya kerjaanku repetitif dan gak bawa aku kemana-mana.”

“Is this middle-life crisis?” gelak Amy.

“I’m waaay older than the middle-life itself, Sweetie. I’m thirty-two!” serunya dengan ekspresi agak kecewa. “Umurku 32 tahun dan aku rasa pencapaianku belum ada apa-apanya.”

“Kan, mulai lagi.”

“Apa?”

“Kebiasaanmu jahat ke diri sendiri.”

Eddie masih ingat pertama kali Amy meledak. Kepalanya tertimpa kotak sepatu saat ulang tahunnya yang ke-30. Amy—si pemberi hadiah sepatu tersebut—menyerukan hal serupa: “Kenapa, sih, hobi banget nginjek diri sendiri. Kenapaaa?” Ia turut menangis saat mendengar bahwa Eddie berpikir usianya kini tidak hanya berperan sebagai angka, melainkan juga sebagai penghalang.

“Apapun yang kamu pikirkan tentang dirimu sendiri… kamu lebih dari itu!”

Amy punya hawa mentari. Entah terlalu terang, terlalu membakar, atau terlalu megah bagi Eddie yang hanya menempatkan dirinya sebagai aliran tenang air sungai. She’s the kind of person who blooms all the flowers, raise all the creature, sung the melody of warm breeze and starry dusk.

Namun tanpa menghiraukan monolog puitis Eddie, Amy terpatri remang-remang khusus untuk dirinya sendiri.

“Denger,” kedua tangan halus itu hanya sanggup menangkup satu telapak Eddie, “kalau kata Natsuki Takaya; we have our own pace.”

“Dari buku yang mana lagi itu? Kamu tau aku males baca.”

“Itu kenapa aku suruh kamu dengerin dulu, bukan protes.”

Eddie hanya mengangkat kedua alisnya, tanda kekalahan. Ia memutuskan untuk menikmati dingin tangan Amy. Perempuan itu memegang gelas es teh terlalu lama.

“You’ve been running your whole life. If you feel like you’re lost, maybe it’s because the route has not set yet. Mungkin itu tandanya jalan kamu itu… kebebasan.”

“Kebebasan?”

“Iya,” angguknya, “mungkin bukannya gak ada tujuan, tapi kamu… maksudnya, kita… diperbolehkan kemana-mana.”

Amy berakhir tidak yakin akan perkataannya sendiri. Satu dari banyak ketidaksempurnaannya yang sering keluar pada saat tak tepat. Namun, di balik ragunya yang semakin membesar, lebih besar kekhawatiran yang dapat Eddie tangkap.

“So, you mean… I could be anything I want?”

“Sure.”

“Kalau besok aku leha-leha gimana?”

“Gak apa-apa!”

“Kalau besok aku mau buka galeri lagi?”

“Aku ikut bantu! Aku bisa pikirin konsepnya.”

Untuk sesaat, Eddie menatap siluet pohon-pohon cemara yang tertiup angin. Beberapa detik kemudian tatapannya kembali. Bak ia selepas berpikir. Bak ia baru berani melepas batinnya sekali lagi.

“Kalau besok aku malah lari lebih jauh lagi?” suara Eddie merendah.

Amy hanya tersenyum. Deretan gigi putihnya kontras dengan hidung merah yang mulai terpengaruh dingin.

“Aku selalu di sini… jadi tempatmu pulang.”

Begitulah: Amy. Pujangga bahkan dalam racauan. Penikmat teh manis dengan bibir rasa gula. Eddie menjauhkan wajahnya setelah menikmati sisa aroma jasmine dari kecupan singkat itu.

“Let’s hit the road home, us.”

“We’re already here.”


—discontinued, undoubtedly.

Mendorong pintu besi itu tidak memakan banyak tenaga Sekar. Pada jam-jam sekolah, memang pagar samping lapangan voli akan disegel dengan gembok Swiss dan terlilit lantai. Namun, tiap Jum’at sore, pagar itu akan dibiarkan bebas atas permintaan tim voli perempuan. Kang Maman, OB kebanggaan sekolah, dengan senang hati mengorbankan waktunya dan menunggu lapangan itu selesai dipakai. Ia merasa tidak akan bisa menang berdebat melawan perempuan. Apa lagi ketika tim tari saman ikut membela.

Decit suara sepatu dan gemuruh teriak menjadi sambutan konstan saat memasuki lapangan. Terpaan angin menderu dari ujung hidung sampai leher, akibat gerak-gerik lincah calon-calon atlit voli itu, juga menambah kesan sibuk. Sekar berjalan menelusuri bangku terbawah tribun sembari mencari sesosok perempuan. Punya rambut panjang dan biasa diikat acak-acakan. Punya jersey warna biru dengan nomor punggung satu. Punya amarah yang selalu meledak-ledak dan terbayang nama Abel di tiap dengus napas sebalnya.

Akan tetapi, perempuan tersebut tidak ada. Sama hasilnya ketika ia mencari sosok Aruna di tempatnya biasa berlatih.

“Kalau lo cari Abel atau Aruna, dua-duanya udah dibawa kabur temen gue.” Suara itu datang dari arah bahu kiri Sekar. Bersilang kaki dengan pandangan masih tertuju pada buku Bumi Manusia tertopang di tangannya. Rompi krim yang tak kunjung lepas meski musim kemarau, karena sebegitu manutnya ia pada peraturan, menampang identitasnya dengan bangga: Bayu Seno Aji, Si Wakil Ketua OSIS.

Sekar terlonjak. Ia butuh memegang bangku tribun untuk mencegah tubuh dari tergelincir. Cara Bayu berbicara bak badai es di tengah ketinggian gunung, sedangkan Sekar suka dingin dan mendaki. “Dibawa kabur?” ujarnya balik bertanya.

“Ya. Kalau dari pandangan gue sih gitu.”


Bayu sesekali memerhatikan gerak-gerik si jersey satu di tengah alinea kisah Minke yang dibacanya. Masih aman. Dua menit sejak Raka dan Runa pergi meninggalkan tempat latihan dan Abel belum menunjukkan tanda-tanda peka. Tidak sampai suara dari pintu utara menggema.

“MANA YANG NAMANYA ARUNAAAA, GUE MAU NGOMOONG!” Kaos merah terlindung warna senada itu asalnya bukan dari wilayah sini. Ikat kepala yang sudah berpeluh, bola jingga besar yang tidak berhenti terpantul; Kapten Basket Tarangga dengan senang hati bertamu ke wilayah asing.

Ya Allah, Rian, sahut Bayu dalam hati. Ia mengangkat buku tebal itu sampai menutupi seluruh wajahnya. Pura-pura tidak kenal. Berdoa agar manusia aneh itu tidak menyadari keadaannya di tribun.

Sementara itu, Abel punya refleks yang berbeda. Matanya berpaling menuju tempat latihan yang kini sudah kosong di sebelah lapangan voli. Aruna telah hilang. Lalu beralih lagi ke arah tribun. Raka juga sudah hilang.

Abel kecolongan. Dalam benaknya hanya ada bayang-bayang bahwa ia akan mendorong motor sendirian melewati tanjakan depan. Tanpa ia sadar langkahnya menuju tempat parkir terhenti oleh tubuh tegap Rian yang datang dari arah berbeda.

“Mana temen lo, Cil?”

“Harusnya gue yang tanya, temen lo di mana?” Abel masih berjalan lurus, melewati Rian dan segera berjalan ke pintu keluar, “Dia yang bawa Runa pergi.” Bayu menyaksikan hal ini dari jauh. Menganggap tugasnya sudah selesai semenjak Raka berhasil keluar dari lapangan.

Langkah jenjang milik Rian dengan cepat menyalip jarak yang diciptakan si perempuan. Ia berbalik, menghadang Abel dengan satu tangannya sebelum tangga menuju lapangan parkir. “Tunggu dulu. Lo sama keselnya kayak gue?”

Abel memutar bola matanya. “Jelas. Lo gak bisa liat asep keluar dari kepala gue?” jawabnya ketus. “Si Raka ngambil tenaga tambahan gue satu-satunya buat dorong motor cuma karena dia sekarang menjabat jadi supervisor.”

“Si Raka keluar dari basket,” timpal Rian datar.

“Serius?”

“Iya.”

“UDAH GILA ITU ANAK.”

“IYA KAN?”

Dengan koneksi berdasar pada rasa sebal terhadap Charakha Irawan Syaputra, kedua manusia ini akhirnya memutuskan untuk menghadang mereka di gerbang. Langkah mereka sama-sama menghentak. Bila dilihat, orang-orang mungkin akan salah kaprah mereka mau menagih utang.

“Temen lo kenapa sih, Yan? Udah tau Tarangga ada kutukan dia masih aja cari gara-gara,” keluh Abel di tengah jalan. Ia mendengar seluruh kisahnya dari Sherina sebelum waktu latihan di mulai. Rian, di lain waktu, tahu-menahu mengenai kejadian ini dari gosip sekolah yang lihai ia kumpulkan.

“Cari gara-gara gimana?”

“Ya, itu. Ngedeketin Aruna? Kutukan Tarangga kan selalu begitu polanya; Ketos dan Ketam deket, terus orang-orang liatnya kayak adem dan mulai berkespektasi sama mereka, Ketos dan Ketam ada konflik, konfliknya melebar. Jadi, deh... perang duna ketiga.”

“Jadi maskud lo, Raka sama Runa ada di timeline yang sama dengan para Ketos dan Ketam sebelumnya?”

Abel mengangguk. Itu membuat langkah Rian sedikit melambat. “Menurut lo mereka bisa jadi pengecualian dari kutukan Tarangga, gak?”

Kali ini, Abel menggeleng. “Siapa pun juga gak akan bisa. It’s like their fate already have been decided since beginning. Sama kayak lo nyuruh ayam latihan terbang. Mustahil!”

Rian terdiam. Di ujung jalan yang mereka lalui terlihat Raka di atas motornya. Tangan kirinya memegang helm, berusaha menahan gerak untuk memasangkan itu kepada Runa. Sementara si Gadis masih tertawa ceria, tangannya memegang sebuah buku hitam yang ia bolak-balik halamannya.

Terbesit pikiran mengenai sobat karibnya itu. Raka bukan tipe manusia yang ingin mengukir sejarah. Raka, walau memang terdengar menyedihkan, lebih suka membiarkan dunia membantingnya dan ia melewati semua badai sedikit demi sedikit. Ia menyelesaikan masalah seperti masang potongan puzzle, menikmati seluruh kebingungannya dan melihat hasil akhir dengan senyuman. Bukankah dengan memahami hal itu, ini semua terlihat seperti kemungkinan Raka mendekati Runa bukan untuk keegoisan harga diri, tetapi karena itu memang potongan teka-teki yang sedang ia lewati?

“Tuh, mereka belum pulang, Yan! Ayo-“

“Et, et, ettt!” belum sempat Abel memencak ke arah sejoli itu, dahinya sudah tertahan oleh telapak tangan Rian. Membuat kepalanya berhenti di tempat, meski badannya masih berusaha maju. ”Stop dulu, Cil. Gue berubah pikiran.”

“Lah, gimana sih? Beberapa menit lalu jelas-jelas lo gondok?”

Rian menatap ke arah Runa. Senyum yang ia ulas menunjukkan dua gigi depannya yang kotak. Mereka berdua sama bahagianya. “Sebagai teman yang baik, gue rasa kayaknya kita harus biarin mereka aja.”

“Biarin mereka bareng cuma memperburuk keadaan.”

“Apa yang bisa diperburuk kalau kita udah sama-sama tau akhirnya? They bound to break, might as well let them be happy first.” Rian berjalan melawan arah, menarik pergelangan Abel agar mengikuti petunjuknya. “Ayok balik, Cil. Gue bantuin lo dorong motor.”

“Tapi...”

“Gak ada tapi-tapi. Dengerin gue. Gue lebih tua dari lo.”


“Tulis di sini.” Raka menunjukkan sebuah buku hitam dengan corak putih acak. Mirip-mirip buku uang kas bendahara kelas. “Setiap lo punya uneg-uneg sama gue, tulis di sini. Nanti pas akhir masa jabatan gue, lo kasih. Gue juga ada buku khusus buat uneg-uneg gue,” tambahnya, menunjukkan buku serupa yang ia kubur dalam tas hijau tua kanvas itu.

“Apa faedahnya?” tanya Runa. Ia tetap mengambil si buku dengan senyum. Dibolak-baliknya tiap lembar yang masih kosong. Seakan-akan memeriksa akankah ada satu halaman berisi mantra anti sial.

“Lampiasan emosi aja. Sebelom kita mau ngungkapin apa yang mungkin sensitif diterima, kita tulis dulu. Abis itu kita baca ulang. Kalau emang ternyata penting banget diungkapin, baru kita kasih tau beneran.”

Aruna terkekeh. “Ini apa karena tadi siang gue manggil lo anak orang kaya?”

“Ya, sebagian besar karena itu sih,” Raka mengusap punuk lehernya, “sebagian besar lagi karena gue gak mau kita musuhan.”

Raka menatapnya teduh. Pertolongan yang ia minta tadi siang kini baru sampai ke pikiran Runa. Oh, dia minta tolong supaya gue kerja sama. Supaya kejadian yang orang-orang bilang gak berlaku untuk kita. Runa pun memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Tangannya pun terulur, menacung jari kelingking. “Janji sama gue selama lo rasa kalimatnya tepat, lo akan ngomong, ya?”

“Apaan ini?” Raka menunjuk tangan perempuan itu.

“Janji kelingking?”

“Kita udah gede, Run. Harus banget pake janji zaman SD lagi?”

“Di mata gue, lo masih Raka yang gue kenal dari SD,” Runa menatap wajah Raka, pangkal hidung pria itu berkedut, “bukan Raka ketos, bukan Raka anak basket. Bukan Raka dengan hutangnya yang menumpuk ratusan ribu di kantin. Just you. Plain. Simple. Old Charakha Irawan Syaputra. Anaknya bapak Rudi.”

“Yah elah,” Raka melengos, kepalanya mengelak ke belakang, “Baru gue mau terharu, Run. Lo main nama bapak.”

“Yaudah, jadi janji gak nih?”

Ia tersenyum, kemudian menautkan kelingkingnya ke tangan Runa. “Iya, gue janji. Anaknya Pak Joni.”


“Oh. Mereka semua udah pulang, ya?” gumam Sekar pada dirinya sendiri. Rasa kecewanya terpendar jelas dan ditangkap oleh mata Bayu.

Setelah singkat dan padat Bayu menjelaskan tentang keributan Rian, kepergian Raka dan Runa, dan amarah Abel, ia habis kata-kata. “Iya. Gue saranin lo pulang juga,” ujarnya membereskan buku tebal yang ia baca ke dalam tas biru.

Sekar mengangguk, tidak butuh waktu lama baginya untuk menuruni tangga tribun. Pandangannya lurus ke depan sampai ia mencapai kenop pintu. Pikirannya mengambang, sebagian besar diisi oleh Runa dan nasibnya besok. Sudah pasti Abel akan mengamuk hebat.

Ditariknya tuas pintu sampai tersingkap. Keheningan menyapu dan membawa ramai jauh menuju sisi belakang telinga. Baru lah suara yang teredam itu ia dengar; suara langkah kaki yang ada di belakangnya.

Sekar menoleh, mendapati Bayu.

“Kenapa?” tanyanya, menjinjing si tas hanya dengan sebelah bahu. “Gue kan juga mau pulang,” tambah Bayu.

“Nggak apa-apa. Kaget aja kirain gak ada orang.”

“Ya ada. Ini gue orangnya.” Bayu menutup pintu, kemudian berjalan melewati Sekar yang membantu. Tiga langkah ia menjauh, tetapi kepalanya sudah menoleh kembali. Pandangan itu tertuju pada Sekar. Ia bahkan tidak percaya. Tidak sampai Bayu berkata lagi; “Lo dijemput apa gimana?”

“Eh...? Nggak,” balas Sekar. “Naik metro.”

“Yaudah, ayo. Keburu sore nanti metronya habis. Gue juga mau ke depan.”

“Oh.”

Maka begitulah, hari berakhir bagi tiga pasang jenis manusia.


[TBC]

Kisah pendek (yang kayaknya lumayan panjang) dalam rangka merayakan #NulisBarengSVTW. Perhatian: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kesamaan nama, latar, dan alur maka hal tersebut hanya kebetulan semata tanpa ada kesengajaan dari pihak yang menulis. Tapi keren banget kalau sama, cuy. Tandanya hidupmu adalah AU!


“Kan gua bilang, Geuring tuh baru-baru ini lemes banget kayak orang-orangan sawah,” kepala Bintang menyembul lebih dekat, suaranya kalah besar dari angin, “kata Janna, lagi punya masalah hati.”

“Walah? Seriusan anjir?” Mata Fauzi membelalak.

Siapa bilang laki-laki tidak tertarik dengan gosip? Congor Bintang, Fauzi, dan Wisnu adalah definisi terbalik dari kata cuek. Niat mereka berkumpul di lorong gedung Ilkom yang sebenarnya ingin membahas tentang rencana menghabiskan sabtu malam dengan bermain valorant, tetapi setelah disenggol sedikit saja, topiknya jadi kemana-mana.

“Wah, lo semua gak waras. Lima menit lalu lo curiga Asta orang tuanya tajir karena tuyul. Sekarang lo gibahin temen sendiri?” protes Wisnu yang sedang bersandar di tiang. Kakinya berselonjor pada pembatas lorong dan taman. Bila ia mendorong tubuh sedikit, membuat punggungnya menjauh dari tiang, Wisnu resmi goleran.

“Yee, yaudah kalo gak mau tau pasang earphone aja sono!” sahut Bintang lagi.

“Gue gak bilang gue gak mau tau. Gue cuma mempertanyakan moral kita aja.”

Siang yang panas membuat siapa pun tidak bisa melawan setan. Keramik merah yang menjadi alas lorong sepanjang 12 meter tempat mereka bernaung semakin mengeluarkan kesan jahanam. Hiruk pikuk mahasiswa komunikasi, sebagian besar berlarian karena terlambat masuk kelas ketiga, membuat situasi penat. Syukur-syukur, keempat lelaki kurang kerjaan ini membuang waktu dengan es teh manis kantongan. Traktiran Fauzi, tepatnya. Sebab kalau tanggal tua, ia yang paling kaya.

“Terus, terus? Menurut lo Geuring lemes karena sindrom GGS?” tanya Fauzi. Ia duduk dengan menumpu tangan ke lutut. Posisinya tepat di seberang si informan gadungan; Bintang.

“GGS apaan tuh?”

“Gundah Gulana Semrawut.”

“Udah gaul lo sekarang, Ji,” serobot Wisnu, ia melempar kulit kacang goreng. “Kenapa gak kita tanya aja kondisi Kanjeng Putri Monika Hirainata kepada bestie sehidup sematinya? Gue liat-liat manusianya juga sama-sama lagi ada pikiran.”

Kini ketiganya menoleh pada sosok lelaki keempat. Arjuna Maitreya. Juna. Junet untuk yang sudah dekat. Pelengkap Idiot Kuartet yang sedari tadi memilih diam sambil memperhatikan semilir angin panas menelusuri celah daun-daun akasia. Taman yang rimbun di samping lorong. Juna cukup rajin untuk datang pertama dan memilih posisi strategis itu. Bahkan lebih awal dari Wisnu.

“Net?”

“Hah?” Juna baru melongok setelah kakinya ditepok Fauzi tiga kali.

“Geuring kenapa gua tanya?”

“Gak tau.”

“LAAAAH?” sontak ketiganya melunjak.

“Dia ngambek sama gue kayaknya,” jawab Juna tanpa jeda. Matanya mengawang kepada manusia-manusia yang baru keluar dari pintu kamar mandi di hulu lorong. Ada yang berambut cokelat. Ada yang memakai celana pendek tukang pancing. Ada yang berambut pendek dengan gaya bob dan membuat Juna semakin ingat dengan perempuan yang sedang mereka bicarakan. “Beberapa hari yang lalu soalnya... gua ngajak dia kencan.”

Ada keheningan beberapa detik sebelum ¾ idiot itu meledak lagi.

“HAH? GIMANA?”

“Gatau ah.”

Junet tidak memberikan penjelasan apapun selanjutnya. Ia berdiri dan memilih memesan satu bungkus makaroni telur di kantin. Saat ia kembali, ketiga lelaki itu sudah membicarakan hubungan gelap antara dosen ilmu psikologi dan teknik sipil.


Momo tidak menyangka berita itu sampai ke telinga para idiot setelah lima hari. Ia kira tiga hari sudah cukup membuatnya dikepung seperti ini.

Di antara perjalanan menuju kelas terakhir dan parkiran motor, Momo menemukan dirinya digeret oleh ketiga oknum yang cocok dengan identifikasinya sebagai jamet. Bintang, Wisnu, dan Fauzi. Ketiganya melingkari perempuan itu setelah mengajaknya minggir dan berjongkok. Di samping tong sampah dekat Mushola Fakultas Seni, mereka mengadakan acara intervensi. Meski, perlu diakui, cara mereka berkumpul lebih mirip dengan sekumpulan anak SMA yang takut ketauan membawa rokok dalam celana kolor.

“Sadarkan diri lo, Geuriiing! Lo diajak kencan sama Arjuna Maitreya!” sergah Fauzi menyenggol siku kanan perempuan itu.

“Makanya lebih make sense gue tampar dia setelah dia ngajak.” Momo melipat kedua lengannya.

“Dih? Kenapa lo tampar, Anjir? Junet kan orang baik, udah kenal lo lama. Ganteng pula temen gue! Jangan bilang pas lo diajak kencan tiba-tiba lo meriang?” selidik Bintang. Momo dan panggilannya, Geuring, memang diciptakan karena observasi lelaki itu. Di awal-awal ia mengenal Momo dan meanyakan kabarnya, Bintang selalu mendapat jawaban ‘duh, gue lagi meriang’.

“Ya kalo lo pikir dia keren, lo aja yang kencan sama dia,” jawabnya ketus.

Wisnu, dari sisi kiri Momo, memangku tangan dalam tenang. Setelah runtutan deduksi yang otak Wisnu lakukan (untung saja otaknya masih berjalan), kalimatnya baru tertembak. “Lo gak percaya Juna serius, ya?”

“Dia orang yang nelpon gue waktu kelar pensi buat jemput, karena banyak cewek yang minta pulang bareng, Nu. Orang kayak gitu selama hidup pasti akan selalu dikelilingi cewek yang lebih baik.”

“Pernah kepikiran gak kenapa dia lebih milih nelpon lo?”

Nggak, sih. Momo selalu menduga Juna menelponnya berdasar dari kebiasaan. Sebelum Geng Loyo mereka terbentuk (terdiri dari tujuh orang; empat idiot, dirinya, Janna, dan Sania), Juna sudah mengenalnya terlebih dulu lewat proyek seminar. Momo menajadi pembicara, Juna lah pembawa acaranya. Mereka dekat karena sejarah itu. Sampai sekarang ia pikir, Juna selalu memilihnya karena absensi canggung yang terbentuk saat mereka bersama.

“Wah, Junet suka sama Geuring betulan, ya?” pikir Bintang dengan tangan mengorek tanah. Di atas pasir kotor itu ia membuat banyak motif bintang.

“Emang iya, Tang?” sahut Fauzi tidak percaya.

“Ya, lo liat aja barusan. Udah lama gue gak liat Junet diem kayak gitu. Gak nge-jokes garing. Gak nyanyi-nyanyi gak jelas. Bahkan gak ngatain lo pendek, Wisnu ansos, dan gue ngenes. Itu anak beneran lagi mikirin Geuring doang.”

“Kalau ini cara lo ngeyakinin gue buat nerima Juna. Lo gak berhasil, Tang.”

“Gue gak mencoba ngeyakinin lo, Mon. Gue lagi mengungkapkan pikiran gue. Kok sensi banget?”

Momo kalah argumen lagi.

“Jadi intinya lo suka sama Junet juga atau nggak?” pertanyaan pamungkas itu diluncurkan oleh Fauzi. Momo baru membuka mulutnya separuh. Kata-kata itu tidak bisa keluar. Sebagian karena memang sulit baginya untuk memilih jawaban, sebagian karena bayangan besar telah menghalangi matahari untuk mereka berempat.

“Gak baik gibahin orang di samping mushola.”

Mereka menoleh. Sosok jangkung itu berdiri sambil berkacak pinggang. Mulutnya membentuk garis tipis tak berlengkung; ekspresi yang sulit dibaca.

“Apa lagi yang digibahin ada sangkut pautnya sama gue.”

The Gibah Troops berhasil terpencar. Kini sisa Monika Hirainata yang harus menghadapi perasaannya dengan seorang Arjuna Maitreya.


“Ayo pulang” adalah kalimat pertama dan terakhir yang diucap Juna untuk Momo. Itu lima menit yang lalu.

Mereka berjalan dalam sunyi sampai ke parkiran. Ada rasa ingin mengutuk diri dalam hati Momo karena sudah membuat perjanjian untuk pulang bersama setiap hari jumat dengan lelaki ini. Kecanggungan yang biasa terdampar pada sisi gersang pulau, kini tumbuh dan memenuhi seluruh kota. Ia bahkan tidak sanggup mengangkat kepala. Hanya sepasang sepatu converse biru yang ia lihat. Terus berjalan ke depan, berharap bisa memutar arah.

“Masih marah?” buka Juna saat ia berhasil menemukan motor matic hitamnya. Kerincing suara kunci yang saling bertubrukan memudahkan Momo untuk meluruskan pandang. Kini, setengah wajah datarnya dapat dilihat Juna.

“Gak pernah marah.”

“Terus?”

“Bingung.”

“Mau cerita kenapa?” Kalau enggak mau juga gak apa-apa. Juna dengan sengaja melupakan kelanjutan kalimat itu.

“Mau. Lebih tepatnya pengen nanya.”

“Oke. Mulut gue selalu bersedia menjawab.” Juna berakhir kembali meluruskan standar motor. Dikembalikan setang ke posisi miring arah kiri. Kedua tangan terhempas untuk menunggu lanjutan dari perempuan itu.

“Lo beneran suka sama gue?”

“Ya.”

“Sebagai apa?”

“Manusia.” Juna meluruskan kaki. Mencoba menahan tawa akan leluconnya sendiri. “Ya masa gue suka lo karena lo setan, Mo.”

Iya, bener juga sih. Momo menggaruk kulit kepalanya, sedikit merasa kikuk. “Ada alasan tertentu, gak?”

“Kenapa tanya gitu?” mata Juna memicing, “Gue tau tabiat lo. Kalau gue kasih tau apa yang bikin gue suka sama lo. Lo bakalan merubah diri supaya gue gak suka sama lo lagi.”

“Lo emang kenal gue, ya, Jun,” jawabnya dengan kekeh. Berat di punggungnya sedikit terangkat. Dengan satu kalimat yang keluar dengan santai, Momo merasa orang di hadapannya masih seorang teman lama. Masih seseorang yang bisa ia ajak bicara dengan mudah.

“Lo gak usah berubah. Ngerepotin diri sendiri. Mau gimana pun gue suka sama lo.”

Akan tetapi, teman lama itu makin sulit ia lihat ekspresinya.

Sejak awal mereka bertemu, Juna punya cara untuk berteriak bahwa ia bisa dipercaya. Bahkan dalam keadaan diam sekali pun. Seringainya yang bergusi, ekor mata yang mengkerut; Juna membuat Momo merasa seperti kembali ke taman anak-anak. Ia datang untuk mengajak bermain. Belum lagi anggukan polos dan pertanyaan bertubi-tubi; pribadi Juna yang selalu penasaran membuat orang merasa ingin dimengerti. Caranya berpakaian; bebas, unik, dan berani. Juna tidak mempedulikan perkataan orang lain. Ia menentukan hidupnya sendiri dan sulit untuk menemukan itu dalam diri seseorang.

Monika punya banyak alasan untuk menyukai lelaki ini. Ia hanya tidak menemukan alasan kenapa Arjuna harus menyukainya.

“Ada sesuatu dari belakang kepala gue yang bilang, kalau lo orangnya.” Juna menjawab pertanyaan itu dengan helaan napas panjang mengikuti. Pikirannya terbawa melintasi garis waktu. “Awalnya gue pikir cara lo kerja. Selalu serius dengan ujung hidung lo yang mengkerut. Gue pikir lucu. Tapi pas itu gak ada juga, gue masih suka sama lo.

Terus gue kira cara lo selalu ngembaliin jokes gue. Humor lo selevel bapak-bapak dan gue selalu terpicu untuk menyaingi. Tapi pas lo gak punya mood ngelucu juga, gue juga masih pengen liat lo ketawa.

Akhirnya gue pikir... mungkin karena lo perhatian sama gue. Mungkin karena waktu-waktu yang korbankan pas gue minta tolong. Mungkin karena lo mau dateng ke kosan bawain bubur pas gue sakit. Mungkin karena lo mau lari pagi bareng waktu gue bilang perut gue agak buncit. Hell, bahkan gue pikir mungkin karena lo mau menjawab pertanyaan eksistensi gue waktu gue lagi krisis identitas, Mo.

Tapi gue sadar, waktu lo gak ada... waktu bukan lo yang buat usaha buat perhatian duluan... gue justru mendapati diri ngasih lo perhatian lagi.”

Derap langkah kaki kerumunan terdengar dari kejauhan. Pukul setengah enam sore. Batch pertama para mahasiswa aktivis baru pulang di waktu ini. Tanpa perlu waktu lama, jalan setapak di sebelah tempat parkir dipenuhi orang-orang yang menemukan mereka. Kasak-kusuk penuh penasaran pun meluap. Ada rasa menggigil yang diperoleh tengkuk Juna. Tidak tau asalnya dari para audiens, atau dari angin barat anakan senja.

Juna memutuskan untuk melepas outer kemeja putihnya. Bila ia rasakan dingin, maka perempuan di hadapannya juga. Maka, terbalut sudah kedua pundak Momo dalam pakaian ekstra. Wangi minyak rasa kayu cemara dan sedikit musim gugur pun ikut terbawa

“Setelah itu gue putuskan, suka sama lo gak ada alasannya,” sambung Juna. Ia menarik perempuan itu lebih dekat demi mengancingkan kemeja. Memastikan celah kulit yang dicipta oleh crop top abu-abu yang Momo kenakan tertutup sepenuhnya.

“Lo gak takut kalau ternyata suara di belakang kepala lo itu salah?” Momo bisa melihat ubun-ubun lelaki itu. Surai cokelat yang mengakar dan figur kepala dari atas. Lebih baik begini, sebab Juna dekat sekali.

“Kenapa harus takut?” ia mendongak, menatap lurus dengan lembut. “It's you and me. It's us. We always finds a way at the end.”

Senyumnya merekah. “Oke,” sahut Momo cepat.

“Oke?”

“Iya, oke.” Momo menarik kedua tali helm lelaki itu, mengancingkannya dengan sigap. “Ayo kencan. Makan pecel lele sambil minum sekoteng. Pulangnya kita main Dance Dance Revolution di timezone. Yang skornya lebih rendah kalah, harus jadi babu buat yang menang sampai senin.”

Arjuna terkekeh. “Oke. Setuju.” Ia memiringkan kepala. “Terus gue nyium lo-nya kapan?”

“Setelah lo anter gue pulang, sampai depan gerbang rumah. Kalau skor Dance Dance Revolution lo lebih tinggi,” jawab Momo dengan seringai yang sama.

“Jangan sengaja kalah loh.”

“Your wish.”

Sayangnya, Juna lupa kalau Momo masuk ke dalam anggota unit tari kampus bersama Bintang. Hari itu skornya terkalahkan 50 poin.

Juna pun resmi menjadi pembantu setia Momo sampai hari senin. Perintah pertama darinya, dengan mengejutkan, lebih mudah dari yang ia kira.

“Can you play the second date, please?”

Sebuah permintaan yang konyol.

“Yes. Of course I can.”


“Eh, lo tau power couple USABLON yang baru, gak?”

“Teh Naya sama Bang Satria?”

“Aih, itu sih gosip lama. Itu loh, vokalis band underground sama speaker seminar career talk.”

“Jangan bilang....”

“Iya! Monika Hirainata akhirnya pacaran sama Arjuna Maitreya!”

“Buset... setelah sekian tahun lamanya?”

“Ya. Setelah dua bulan hubungan tanpa status, gue rasa.”

[FIN]

Detak jantung jam dinding itu terasa lebih hidup. Kenapa waktu rasanya berjalan penting saat kita tunggu?

Kanaya sendiri benci jika ia harus menghitung waktu. Namun, sejak Satria bilang bahwa ia akan datang ke kosan, rasa-rasanya ini waktu yang tepat untuk Naya bersiap. Tidak akan ada yang tau apa yang dapat muncul di balik pintu.

Satria adalah rajanya perayaan besar. Waktu anniversary mereka yang pertama, lelaki itu mem-booking dua tiket ke Bali. Waktu Mamanya Kanaya ulang tahun, dia lemparkan sebuah pesta kejutan dengan lebih dari 100 orang alumni Universitas tempat Mama berkuliah. Waktu Pesto (nama anjing Naya) akhirnya sembuh dari sakit perut, ia juga yang membelikannya satu set rumah anjing dan mainan baru.

Singkat kata; Satria lebay.

Banyak temannya yang ingin berdiri di kaki Naya. Kapan lagi ya, Bun, punya cowok setia udah gitu rela belanjain situ? Iya, tapi kapan lagi punya laki yang tingkah impulsifnya tidak bisa dikontrol oleh pihak mana pun? Obsesi Satria menangkan hati orang lain, menurut Naya, sudah tidak sehat. Sudah sampai taraf kalau ada orang yang menyuruhnya lompat ke jurang demi menyenangkan hati orang itu, Satria pasti akan lakukan.

Ting-tong!

Lamunan tentang tingkah si pacar itu mendadak berhenti. Langkahnya ragu untuk mendekati pintu. Di balik putaran kenop itu, ada sesuatu yang menunggu Naya. Dan apa pun itu, sudah pasti ia tidak sanggup membalasnya; sudah pasti ia tidak enak menerimanya.

Naya menghela napasnya dan menghitung sampai tiga. Dibukanya pintu itu cepat, menunjukkan figur Satria yang familiar dan penuh aura cerah.

“Selamat hari pacar, Pacar!” sambutnya, membawa sebuket bunga berwarna biru─jenis jelasnya, Naya tidak tau.

Kehadiran Satria berhasil membuat mulut si pacar menganga. Telah terkatup dua buah tangan itu di hadapan wajahnya, menutupi ekspresi kaget yang tidak dibuat-buat. Ekspresi yang menggemaskan.

“Udah boleh masuk, belom?” tanya Satria melanjutkan.

“NGGAK!” bentak si pacar. “Apa-apaan kamu main masuk dengan keadaan begini? Rambut acak-acakan, muka kayak orang abis digebukin warga.... IH ITU CELANA SAMPE KAKI KOTOR! KAMU HABIS MAIN DI GOT?”

“Ohh, ini ceritanya panjang! Nanti aku ceritain di dale─”

“Nggak! Nggak! Rumahku gak nerima orang buluk! Cuci kaki dulu pake selang di depan, biar aku ambil kotak P3K.”

“Well, I got you presents tho...”

“But you also give me hell. Cuci kaki. Cepet. Gak pake tapi.”

Maka Satria pun menurut. Ia membuka sepasang sendal bermodel slip-in itu dan mencuci kakinya di teras depan kontrakan Naya. Pikirannya sedikit menerawang; Apa yang salah?


Satria berjalan gontai masuk dengan sepasang kaki setengah kering. Ditutupnya pintu itu dam lekas ia berangkat ke ruang tamu. Dua anak tangga tidak menghentikan kaki pincangnya untuk berjapan senormal mungkin; berharap Naya tidak sadar bahwa seluruh tubuhnya terasa bak sedang dihujani batu-bata.

Akan tetapi, sisi menakjubkan dari perempuan adalah rasa peka mereka.

“Udah?” tanya Naya menatapnya dari sofa kain panjang berwarna cokelat terang.

Satria membalas dengan anggukan. Dibenarkannya ikatan plastik yang melingkar di jemari, berat hadiah itu masih ia tampung dengan hati-hati.

“Kalau udah sini duduk,” katanya lagi, menepuk bagian kosong sofa itu. Satria pun menurut, sembari menaruh hadiahnya di atas meja kaca si teman furnitur.

Kemudian ia letakkan ambil buket bunga sedang yang sempat Naya tolak, kini di bawa kembali ke hadapan si pacar. Raut perempuan itu penuh pertimbangan, entah mau menghukum Satria atau justru berbuat baik padanya. Namun, sesaat senyum tulus dari Satria terukir di wajah, Naya menghela napas kesal karena tidak bisa menolak buket itu.

“Nah, gitu dong,” ujar Satria senang.

“Makasih,” balasannya datar. Naya kemudian menghirup aroma si Bunga Biru sejenak. Dia temukan ternyata lebih mirip bau tanah. “Ini kamu metik sendiri?”

“Betul!”

“Itukah alasannya kenapa celana kamu isinya tanah semua?” tunjuk Naya.

“Euh...” suaranya meragu.

Sekali, Naya mengeluarkan lelahnya dalam bentuk helaan napas. Ia lanjut menggulung celana jins Satria yang kotor agar tidak menyentuh lantai. Ini lah yang Naya maksud dengan berlebihan. Satria rela membahayakan dirinya bila itu artinya membahagiakan orang lain.

“Sini lukanya dibersihin dulu,” perintah Naya setelahnya, ia membuka kotak P3K kecil itu untuk mengambil kapas dan obat merah.

“Mending dibuka dulu hadiahnya. Aku tadi masakkin kamu─”

“Nggak. Bersihin dulu. Nanti kalau lukanya jadi borok, mau muka gantengmu ilang?”

“Tapi masakan aku lebih enak dimakan pas lagi anget, Nay.”

“Alah, bilang aja takut sama betadine.”

“Nah, itu tau.”

“Yeeeeee, kan bener! Kamu emang cemen. Berani digebukin warga doang, kena betadine malah keok,” sorak Naya sambil menarik dagu pacarnya lebih dekat. Ia mulai memeriksa satu persatu lecet yang tidak tau penyebabnya apa; di pelipis, hidung, mulut, sampai rahang pun ada. Ini sudah pasti akan menimbulkan bekas bila dibiarkan begitu saja. “Kalau takut, merem,” lanjutnya, mulai menepukkan kapas pada luka itu.

“Gak deh. Tar muka pacar gue gak keliatan.” Komentar Satria itu dihadiahi tatapan jijik oleh Naya. “Ya, kan biar kayak Dilan, Nay, ceritanya.”

“Iya, deh, Dilan. Coba cerita dong, kok bisa dateng ke rumah Milea kayak abis nyolong motor? Bukannya Dilan tuh udah masuk geng motor, ya?”

Satria tersenyum. “Jujur. Ini sih, kalau ada yang harus dimarahin, harusnya Raihan.”

“Kok jadi Raihan?”

“Soalnya dia yang ngasih ide nyuruh aku buat hadiah pake usahaku sendiri. Awalnya aku udah kepikiran mau masakkin kamu, tapi ternyata telor di rumahku abis jadi aku harus beli, kan? Nah terus aku mikir lagi nih; kalau beli, berarti aku gak usaha, dong? Yaudah jadinya aku ngambil telor sendiri di kebun tetangga. Udah izin kok, tenang aja. Cuma namanya juga ngambil telor ayam orang kan ya... jadi ayamnya yang gak kebiasa...”

“Tunggu-tunggu,” potong Naya. “Maksudnya luka ini didapet karena dipatok ayam?”

“Enak aja! Nggak!” seru Satria. Sesaat kemudian matanya sedikit berkedut untuk menghindari obat merah dari tangan si pacar. “Aku gak dipatolk, dong! Aku berhasil menghindar dari mereka. Cuma mukaku ancur karena nyusruk pagar.”

“Gusti Tuhan Nu Agung...” sebutnya. “Terus, tanahnya gimana?”

“Itu lain cerita. Setelah aku dapet telor dan berantakin dapur...”

“Masak?”

“Iya, masak. Setelah itu aku masukin tempat kan, itu yang di atas meja. Cuma aku takut rasanya gak enak jadinya aku pikir bagusan punya hadiah lagi gak, sih? Yaudah terus aku mikir kasih kamu bunga, deh!”

“Bunganya kamu beli?”

“Nggak. Aku ambil juga dari tetangga sebelah.”

“Allahuakbar.” Puan itu menepuk dahinya frustasi. “Tetangga sebelah? Pak Jodi?”

“Ya!”

“Yang punya anjing?”

“Ya...” jawabnya melemah. “Jadi lah; aku! Pacarmu yang lagi kamu obatin ini.”

Kanaya hanya bisa bergeleng memberi tanda heran yang tidak berhenti-henti. Ditaruhnya kembali kapas dan obat merah itu, proses pengobatan selesai setelah cerita Satria berakhir. Si Perempuan hanya menyisakan gelak bingung untuk Satria yang masih tersenyum dengan manis. Lelaki itu menunggu, ia menginginkan komentar dari Naya yang masih saja tertawa ke arahnya.

Setelah reda, ia menaruh satu telapaknya di pipi Satria, kemudian bertanya sungguh-sungguh, “sakit, gak?”

“Nggak. Tadi pas nyetir mobil sih agak sakit. Sekarang nggak.”

“Kok bisa?”

“I don't know,” jawabnya, sembari mengelus pergelangan tangan Naya pelan, “maybe not only because your happiness makes me happy, it's also because the pain is vanish whenever I see you smiling.”

“Jadi kamu mau bergantung pada orang lain untuk perasaanmu sendiri?”

“Nggak juga.”

“Then what is it make me?”

“Some kind of absolute epiphany.”

“Eleborate.”

“Sebuah kebahagiaan tidak terduga yang sudah pasti. Kebahagiaanku gak ada di kamu, tapi udah pasti kalau aku berusaha untuk buat kamu bahagia, dia pasti datang. Kayak sesuatu yang asti di ketidakpastian kehidupan gitu loh, Nay. It's always nice to know you still care. It's always nice to know that you are happy. Ngerti?”

“Nggak,” gelengnya.

“So, are you gonna be mad at me?”

Naya terkekeh. “Nggak juga.” Ia mendekatkan wajahnya, memberi kecupan singkat pada sisi bibir Satria yang tidak terluka. “I think you are the sweetest boy I've ever met, and I'm lucky to have you.”

Satria membalasnya dengan senyuman tipis. Bulu-bulu matanya hampir bersatu di tengah mata yang menyempit. “Selamat hari pacar, Naya.”

“Selamat hari pacar juga, Satria.”


“Tar dulu, deh. Aku cobain duluan telornya. Takut gak enak,” cegah Satria sesaat setelah Naya mengambil wadah plastik itu dari dalam bungkusnya.

“Loh? Gak boleh gitu, dong? Ini kan hadiahku, kok kamu makan juga?” hindarnya tidak mau kalah.

“Ih, kan takut gak enak, Naaaay!”

“Enak. Pasti enak. Nanti kalau gak enak, kan aku jago akting.” Naya pun menyendok telur itu dan langsung memasukkan sesuap penuh ke dalam mulutnya. Dikunyah dengan perlahan.

“Eh-” Satria tidak dapat mengelak rasa cemasnya. “Kalau gak enak dimuntahin juga gak apa-apa.”

“Sat...” katanya setelah menelan.

“Ya?”

“Keasinan.”

Sesaat, ulu hati lelaki itu seperti ditarik oleh beribu-ribu pion kecil yang hidup.

“Kamu kebelet kawin, ya?”

“HEEEEEH!”


:終わり。

Naya menenggak gelas keempat soda hitamnya, sejurus pertanyaan sakral itu dilayangkan.

“Jadi, Mbak Naya kapan nyusul?”

Ia berharap dengan soda yang sudah melewati kandung kemihnya berkali-kali, Naya menemukan alasan untuk pergi dari kerumunan saudara jauh itu. Mengizinkan diri untuk buang hajat, sehingga terhindar dari pertanyaan sejenis yang baru saja diutarakan Tante ketiga dari sisi Ibunda.

Datang ke acara pernikahan sanak keluarga adalah hal terburuk, apa lagi kalau kamu adalah perempuan berusia 26 tahun tanpa cincin di jari manis. Ibarat sebuah biji jagung terlempar dalam kandang ayam, Kanaya Basundari adalah sasaran empuk bagi para sepuh keluarga untuk ditanyakan perihal pilihan hidup.

“Gak tau deh, Tan. Belum nabung.”

“Loooh, kok nabung? Kamu mah tinggal dilamar aja! Keluarga cowok yang harusnya tanggung jawab buat bayar nikah.”

𝘠𝘢, 𝘭𝘰 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘨𝘶𝘦 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘭𝘪? 𝘜𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝟤𝟢𝟤𝟣, 𝘚𝘪𝘴𝘵. 𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘨𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘯𝘨𝘢𝘯𝘶𝘵 𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘮 𝘱𝘢𝘵𝘳𝘪𝘭𝘪𝘯𝘦𝘢𝘭? Gerutu Naya dalam hati. Rasanya mau menangis, tapi itu memalukan. Mau meninggal di tempat sepertinya juga terlalu dramatik.

Kalau saja ia tidak punya keinginan bertanggungjawab membawa nama baik keluarga, Naya akan jujur mengatakan bahwa menikah bukan hal paling membahagiakan di dunia. Ambil contoh dari pasangan yang hadir dalam pernikahan ini. Sepupu kedua Naya─yang merupakan mempelai wanita, si pemilik pernikahan─baru sebulan lalu berkata bahwa ia bisa mati memaklumi calon suaminya yang punya hobi mengoleksi sepeda motor. Tantenya─yang sekarang mengejar tiga anak berusia 3, 4, dan 6 sambil membawa piring berisi nasi dan lauk bakso─terlihat sudah tidak tidur satu minggu. Jangan buat Naya mulai menjelaskan tentang nasib buruk Ibunya karena menikah muda.

Naya hanya melihat pernikahan adalah solusi untuk menghindari satu pertanyaan, yaitu “Kapan nikah?”. Tanpa disadari, solusi itu merupakan awal dari masalah-masalah baru, dan hanya untuk pihak perempuan seorang.

Baru saja Naya akan menenggak satu gelas soda lagi, pergelangannya terhenti karena dilingkari oleh hawa hangat dari genggaman seseorang.

“Et, et, et!” seru lelaki itu disela-sela ikut campurnya. “We've talked about this! Jangan minum soda kebanyakan, nanti maag kamu kambuh.” Kemudian sebagai gantinya gelas itu berganti kepemilikan; milik si pria dengan setelan jas kebesaran yang senada dengan rambut legamnya.

“Ngapain di sini, Satria? Katanya mau ngambil siomay?” bisik Naya dekat telinga lelaki itu.

“Tempat siomay dijagain Ayah. Aku gak jadi makan malah ngobrolin kamu.”

“Ngomongin apa kamu?”

“Tenang, yang baik-baik doang, kok.”

Seraya Satria mengambil tangan Naya dan melingkarkan ke lengannya, sampai mempertemukan jemari kurus milik perempuan itu dalam genggamannya, mata dari tiga perempuan paruh baya yang mengintrogasi Naya barusan akhirnya kembali terfokus pada mereka. Spontan, Naya mengeratkan lingkaran lengannya, berharap Satria paham bahwa itu isyarat bagi mereka untuk lari.

“Kenapa kamu?”

Sayangnya, Satria terlalu lemot bila sudah berdiri dekat prasmanan.

“Wah, ini siapa yang ganteng? Pacarnya Mbak Naya, ya?” celoteh si Tante 1, semakin mendekat ke mereka berdua. Lebih tepatnya ke arah Satria.

“Walah, Naya udah gede ya sekarang, udah bawa pacar ke nikahan! Kenalin dong pacarnya ke tante!” tambah Tante 2. Seketika ketiga tante itu sudah heboh dan memperhatikan wajah Satria. Kini, Satria paham. Terpecahkan sudah mengapa Naya terlihat super duper lelah.

Satria putuskan untuk mengambil alih sendiri, membiarkan Naya meredakan amarah sambil mengistirahatkan pipi di atas bahunya.

“Betul, Tante! Nama saya Satria, pacarnya Naya.”

“Ganteng banget, Mas Satria. Kok mau aja sama Mbak Naya?” gurau Tante 3.

“Eh, Etik! Jangan gitu! Ya orang kalau udah cinta gak liat muka lagi, lah!” timpal Tante 2 kembali. “Omong-omong, udah berapa lama pacaran?”

“Hmmm,” Satria mengusap pelan buku tangan Naya sambil melihat wajahnya dari ekor mata, “3 tahun ya, Nay?” Ia mendapat jawaban berupa anggukan lemah saja.

“Wah, udah lama itu! Udah direncanain belum nikahnya?” tanya si Tante 1 lagi.

Satria tau pertanyaan ini akan keluar. Kalau bukan sekarang, mungkin nanti beberapa menit ke depan saat mereka bersalaman dengan kedua mempelai. Ia bukan tipe orang yang mempermasalahkan pernikahan, toh sampai usia mencapai 40 juga ia rasa menjawab dengan “belum kepikiran” masih terbilang aman. Namun, berbeda kondisinya dengan perempuan yang sedang bergelayut di lengannya. Satu saja jawaban salah, Naya akan jadi bulan-bulanan keluarga.

“Belum, Tante. Lagi sibuk banget soalnya.”

“Loh, jangan jadiin sibuk alasan, dong. Emang kamu tega liatin Naya nungguin dilamar? Keburu ketuaan loh.”

Satria tertawa pelan. “Maksud saya Naya yang sibuk, saya mah kapan aja bisa,” koreksi Satria setelahnya. “Saya kan kerjanya gak banyak, cuma jadi editor sama fotografer aja. Nah, si Naya ini, Tante... Bintang besar! Tiap bulan adaaa aja pentas. Udah macam artis dia, tiap studio teater kenal namanya. Bangga banget gak sih, Tan, punya ponakan kayak Naya?”

Kepala Naya bangkit dari pundak Satria, ia tatap wajahnya benar-benar. Satria masih asyik memasang senyum manis bagi ketiga Tante menyebalkan itu, bahkan tidak terlihat raut keraguan dalam wajahnya. Ia menunggu. Satria, seorang pria, menunggu. Baru kali itu saja Naya mendengar alasan menunggu dari mulut laki-laki. Dan bukan untuk kepentingannya sendiri.

“Oh, iya, Mbak? Keren banget! Sering kerja sama artis, gak?” tanya Tante 2. Satria tebak dia Tante paling lugu di kelompok itu.

“Wah, bukan artis aja, Tante! Si Naya pernah loh pentas buat kedutaan. Buat menteri juga pernah!”

“Gustii, orang penting ternyata ponakan kita, Ceu.”

“Betul, Tan!” Satria kembali berseru. Ia beralih dan akhirnya menghadap ke pacarnya. Masih tersenyum dengan cara yang sama, seperti idiot. Naya pun hanya melihatnya heran. “Makanya saya heran kok Tante nanya kenapa saya mau aja sama Naya... Orang mah yang ditanya kok Naya mau aja sama saya!” lanjutnya sambil tergelak.

“Apa sih, kamu,” ujar Naya akhirnya bersuara, menoel pelan pipi Satria tepat di lesung. Senyum kelinci itu akhirnya Satria temukan kembali.

“Loh, kan emang bener?”

“Nggak, kamu aja yang lebay.”

Seketika lingkaran itu dipenuhi oleh celoteh Satria dan kekuatannya dalam menarik tante-tante. Selepas dari topik membanggakan Naya, yang berjalan kembali sekitar 10 menit, ia mengayomi setiap perempuan paruh baya itu dengan manis. Menjawab pertanyaan mereka, memuji mereka, bahkan menceritakan hidupnya dengan bumbu humor yang membuat mereka tertawa. Satria resmi diberi stempel sebagai “mantu idaman”, meski bukan salah satu dari anak mereka yang akan menikah dengannya.

Nantinya, di malam yang sama. Dua sejoli itu berdansa di bawah remang lampu kaca dan dengan musik organ tunggal. Mengikuti irama A Thousand Years oleh Christina Perry, lagu kebangsaan seremoni pernikahan.

Setelah dua tangan Naya terlingkar cukup lama di leher Satria, dengan pikiran yang masih tertinggal di lingkaran tante-tante tadi itu ia bertanya, “Kamu beneran pengen nikah?”

“Tergantung,” jawab Satria sambil memegang pinggang perempuan itu dan mengikuti gerak dansanya. “Kalau sama kamu ya mau.”

“Kalau sama perempuan lain?”

“Ya aku bilang ke mereka, 'Maaf, ya. Saya udah punya pacar,' abis itu aku ngadu ke kamu ada cewek aneh ngajak aku nikah.”

“Serius, Satria.” Naya menatap tajam.

“Aku udah serius, Kanaya,” katanya lembut. “Emang maunya nikah sama kamu.”

“Kalau aku gak mau nikah?”

“Ya gak apa-apa. Kita pacaran terus sampai tua. Aku siap main ke kosan walau udah encok dimana-mana.”

“Agak bucin, ya?” gelak Naya. Sesaat kemudian gerak kakinya berhenti. Kedua tangannya beralih merapihkan dasi Satria yang tidak berantakan. “Satria...”

“Ya?”

“Aku mau nikah... sama kamu...”

“Makasih udah berani speak-up.”

“Ih, Satria!”

Setelah pinggangnya dicubit, Satria mengambil tangan putih milik sang pacar. Ia genggam keempat jari Naya dan meletakannya di atas dada. Senyum Satria masih seperti idiot, ia juga mengakui hal itu. Memang karena setiap detik yang dihabiskan bersama perempuan yang sedang ada di hadapannya membuat Satria kehilangan akal sehat. Kehilangannya lebih membuat Satria gila lagi.

“What kind of marriage you have in mind, when you said you wanted to marry me?”

“The Most Awesome Marriage, of course. Kita nikah tema backyard party, kostumnya yang adem. Ngundang tamunya dikit aja, biar gak ada suara nangis bocil. Nanti aku minta Janna jadi Maid of Honour.”

“Yah, kalau gitu berarti aku harus jadiin Raihan Best Man, dong?”

“Nggak, nanti bilang aja aku request Joshua yang jadi Best Man, dia pasti nurut.”

“Oke, oke,” angguk Satria. “Terus?”

“We're going to move to new house, dibangun deket sungai. We're going to have three kids, a boy and two girls...”

“Iya, ya. Punya anak perempuan kayaknya lucu.”

“Emang, tapi kamu yang ngurusin, ya. Aku masih mau kerja di teater.”

“Oke.”

“Terus kita pelihara marmut di halaman belakang.”

“Boleh.”

“Nanti rumah ditanemin banyak bunga lavender.”

“Setuju.”

Naya pun terdiam. Sesaat menyadari bahwa omongannya selalu disetujui oleh Satria. Bulu mata yang tebal itu hampir menutup sorot mata, tapi Naya masih bisa merasakan bahwa Satria selalu melihat ke arahnya dengan hati besar yang tetap. Hangat yang selalu ia bawa, cinta bagai matahari sesuai dengan namanya.

“Adakah hal yang mungkin gak kamu setujui?”

“Hmmm, aku gak setuju kalau kamu nikahnya gak sama aku?”

“Tolong jangan dangdut terus ya, Bapak.” Naya menaruh kedua tangannya ke bahu pria itu. “Mana mungkin kamu nikah sama cewek batu kayak aku tapi gak punya hal yang mau diprotes?”

“Ya, protes pasti akan ada. Tapi pada akhirnya that's us. We will fight a lot and things will not go in our way, and it's okay. We handling it together.”

“What if I'm tired of handling things together with you?”

“Aku yang handle, sampai kamu gak capek lagi.”

“Kalau aku capek terus?”

“Ya kita keluar dari kerumunan tante-tante itu. Cari tempat baru, deket siomay atau mungkin lantai dansa. Sama anak-anak kita dan para marmut. Tapi, tetep bareng-bareng,” jawab Satria dalam metafora. “Let's have an awesome marriage together later.”

Naya menenggak ludahnya, berkata di bawah engah napas pelan dalam bisik. “Screw that. Let's have one soon.”

“Huh?”

“Satria Chandrawedi, will you marry me?”

Ia menjadi yang pertama meminta. Tanpa tekukan lutut atau cincin berlian. Mungkin itu alasan jantung Naya berdegup sangat kencang. Sembari menunggu jawaban dari Satria, ia ikut menimbang. Takut-takut akan ditertawakan, takut-takut akan ditolak mentah-mentah. Ekspresi lelaki itu tidak bisa dibaca. Naya bahkan sudah siap kalau Satria menjawab dengan “Makasih udah berani speak-up” lagi.

Gugupnya pudar ketika lelaki itu mendekat, mendaratkan bibir ke bibir dengan rasa yang manis. Pasti karena ia memakai chapstik rasa anggur yang selalu dipakai untuk acara yang menuntutnya terlihat rapi, atau mungkin karena pudding buah yang ia makan beberapa saat lalu. Apapun itu, Naya tidak peduli. Saat seperti ini otaknya terlalu lemah untuk peduli.

Dan ketika kepalanya kembali ditarik, Satria berkata lagi, “I will marry you every time you ask me to. Even if you ask me a thousand times, my answer will always be yes.”

Jadi, mereka kembali menari. Menari dan terus menari sampai kaki mereka sakit. Terpampang senyum yang tidak berhenti terukir dari wajah masing-masing. Meski terbesit gagasan bahwa malam itu akan berlalu dan esok datang dengan segala masalah baru. Setidaknya Naya tahu, ia akan menghadapi semua itu bersama Satria. Bersama seseorang yang tidak akan berhenti menjadi pundak tempat kepalanya bersandar.

Dan semua akan baik-baik saja.


:終わり