Tiga Tante, Dua Dansa, dan Satu Satria.

Naya menenggak gelas keempat soda hitamnya, sejurus pertanyaan sakral itu dilayangkan.

“Jadi, Mbak Naya kapan nyusul?”

Ia berharap dengan soda yang sudah melewati kandung kemihnya berkali-kali, Naya menemukan alasan untuk pergi dari kerumunan saudara jauh itu. Mengizinkan diri untuk buang hajat, sehingga terhindar dari pertanyaan sejenis yang baru saja diutarakan Tante ketiga dari sisi Ibunda.

Datang ke acara pernikahan sanak keluarga adalah hal terburuk, apa lagi kalau kamu adalah perempuan berusia 26 tahun tanpa cincin di jari manis. Ibarat sebuah biji jagung terlempar dalam kandang ayam, Kanaya Basundari adalah sasaran empuk bagi para sepuh keluarga untuk ditanyakan perihal pilihan hidup.

“Gak tau deh, Tan. Belum nabung.”

“Loooh, kok nabung? Kamu mah tinggal dilamar aja! Keluarga cowok yang harusnya tanggung jawab buat bayar nikah.”

𝘠𝘢, 𝘭𝘰 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘨𝘶𝘦 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘭𝘪? 𝘜𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝟤𝟢𝟤𝟣, 𝘚𝘪𝘴𝘵. 𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘨𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘯𝘨𝘢𝘯𝘶𝘵 𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘮 𝘱𝘢𝘵𝘳𝘪𝘭𝘪𝘯𝘦𝘢𝘭? Gerutu Naya dalam hati. Rasanya mau menangis, tapi itu memalukan. Mau meninggal di tempat sepertinya juga terlalu dramatik.

Kalau saja ia tidak punya keinginan bertanggungjawab membawa nama baik keluarga, Naya akan jujur mengatakan bahwa menikah bukan hal paling membahagiakan di dunia. Ambil contoh dari pasangan yang hadir dalam pernikahan ini. Sepupu kedua Naya─yang merupakan mempelai wanita, si pemilik pernikahan─baru sebulan lalu berkata bahwa ia bisa mati memaklumi calon suaminya yang punya hobi mengoleksi sepeda motor. Tantenya─yang sekarang mengejar tiga anak berusia 3, 4, dan 6 sambil membawa piring berisi nasi dan lauk bakso─terlihat sudah tidak tidur satu minggu. Jangan buat Naya mulai menjelaskan tentang nasib buruk Ibunya karena menikah muda.

Naya hanya melihat pernikahan adalah solusi untuk menghindari satu pertanyaan, yaitu “Kapan nikah?”. Tanpa disadari, solusi itu merupakan awal dari masalah-masalah baru, dan hanya untuk pihak perempuan seorang.

Baru saja Naya akan menenggak satu gelas soda lagi, pergelangannya terhenti karena dilingkari oleh hawa hangat dari genggaman seseorang.

“Et, et, et!” seru lelaki itu disela-sela ikut campurnya. “We've talked about this! Jangan minum soda kebanyakan, nanti maag kamu kambuh.” Kemudian sebagai gantinya gelas itu berganti kepemilikan; milik si pria dengan setelan jas kebesaran yang senada dengan rambut legamnya.

“Ngapain di sini, Satria? Katanya mau ngambil siomay?” bisik Naya dekat telinga lelaki itu.

“Tempat siomay dijagain Ayah. Aku gak jadi makan malah ngobrolin kamu.”

“Ngomongin apa kamu?”

“Tenang, yang baik-baik doang, kok.”

Seraya Satria mengambil tangan Naya dan melingkarkan ke lengannya, sampai mempertemukan jemari kurus milik perempuan itu dalam genggamannya, mata dari tiga perempuan paruh baya yang mengintrogasi Naya barusan akhirnya kembali terfokus pada mereka. Spontan, Naya mengeratkan lingkaran lengannya, berharap Satria paham bahwa itu isyarat bagi mereka untuk lari.

“Kenapa kamu?”

Sayangnya, Satria terlalu lemot bila sudah berdiri dekat prasmanan.

“Wah, ini siapa yang ganteng? Pacarnya Mbak Naya, ya?” celoteh si Tante 1, semakin mendekat ke mereka berdua. Lebih tepatnya ke arah Satria.

“Walah, Naya udah gede ya sekarang, udah bawa pacar ke nikahan! Kenalin dong pacarnya ke tante!” tambah Tante 2. Seketika ketiga tante itu sudah heboh dan memperhatikan wajah Satria. Kini, Satria paham. Terpecahkan sudah mengapa Naya terlihat super duper lelah.

Satria putuskan untuk mengambil alih sendiri, membiarkan Naya meredakan amarah sambil mengistirahatkan pipi di atas bahunya.

“Betul, Tante! Nama saya Satria, pacarnya Naya.”

“Ganteng banget, Mas Satria. Kok mau aja sama Mbak Naya?” gurau Tante 3.

“Eh, Etik! Jangan gitu! Ya orang kalau udah cinta gak liat muka lagi, lah!” timpal Tante 2 kembali. “Omong-omong, udah berapa lama pacaran?”

“Hmmm,” Satria mengusap pelan buku tangan Naya sambil melihat wajahnya dari ekor mata, “3 tahun ya, Nay?” Ia mendapat jawaban berupa anggukan lemah saja.

“Wah, udah lama itu! Udah direncanain belum nikahnya?” tanya si Tante 1 lagi.

Satria tau pertanyaan ini akan keluar. Kalau bukan sekarang, mungkin nanti beberapa menit ke depan saat mereka bersalaman dengan kedua mempelai. Ia bukan tipe orang yang mempermasalahkan pernikahan, toh sampai usia mencapai 40 juga ia rasa menjawab dengan “belum kepikiran” masih terbilang aman. Namun, berbeda kondisinya dengan perempuan yang sedang bergelayut di lengannya. Satu saja jawaban salah, Naya akan jadi bulan-bulanan keluarga.

“Belum, Tante. Lagi sibuk banget soalnya.”

“Loh, jangan jadiin sibuk alasan, dong. Emang kamu tega liatin Naya nungguin dilamar? Keburu ketuaan loh.”

Satria tertawa pelan. “Maksud saya Naya yang sibuk, saya mah kapan aja bisa,” koreksi Satria setelahnya. “Saya kan kerjanya gak banyak, cuma jadi editor sama fotografer aja. Nah, si Naya ini, Tante... Bintang besar! Tiap bulan adaaa aja pentas. Udah macam artis dia, tiap studio teater kenal namanya. Bangga banget gak sih, Tan, punya ponakan kayak Naya?”

Kepala Naya bangkit dari pundak Satria, ia tatap wajahnya benar-benar. Satria masih asyik memasang senyum manis bagi ketiga Tante menyebalkan itu, bahkan tidak terlihat raut keraguan dalam wajahnya. Ia menunggu. Satria, seorang pria, menunggu. Baru kali itu saja Naya mendengar alasan menunggu dari mulut laki-laki. Dan bukan untuk kepentingannya sendiri.

“Oh, iya, Mbak? Keren banget! Sering kerja sama artis, gak?” tanya Tante 2. Satria tebak dia Tante paling lugu di kelompok itu.

“Wah, bukan artis aja, Tante! Si Naya pernah loh pentas buat kedutaan. Buat menteri juga pernah!”

“Gustii, orang penting ternyata ponakan kita, Ceu.”

“Betul, Tan!” Satria kembali berseru. Ia beralih dan akhirnya menghadap ke pacarnya. Masih tersenyum dengan cara yang sama, seperti idiot. Naya pun hanya melihatnya heran. “Makanya saya heran kok Tante nanya kenapa saya mau aja sama Naya... Orang mah yang ditanya kok Naya mau aja sama saya!” lanjutnya sambil tergelak.

“Apa sih, kamu,” ujar Naya akhirnya bersuara, menoel pelan pipi Satria tepat di lesung. Senyum kelinci itu akhirnya Satria temukan kembali.

“Loh, kan emang bener?”

“Nggak, kamu aja yang lebay.”

Seketika lingkaran itu dipenuhi oleh celoteh Satria dan kekuatannya dalam menarik tante-tante. Selepas dari topik membanggakan Naya, yang berjalan kembali sekitar 10 menit, ia mengayomi setiap perempuan paruh baya itu dengan manis. Menjawab pertanyaan mereka, memuji mereka, bahkan menceritakan hidupnya dengan bumbu humor yang membuat mereka tertawa. Satria resmi diberi stempel sebagai “mantu idaman”, meski bukan salah satu dari anak mereka yang akan menikah dengannya.

Nantinya, di malam yang sama. Dua sejoli itu berdansa di bawah remang lampu kaca dan dengan musik organ tunggal. Mengikuti irama A Thousand Years oleh Christina Perry, lagu kebangsaan seremoni pernikahan.

Setelah dua tangan Naya terlingkar cukup lama di leher Satria, dengan pikiran yang masih tertinggal di lingkaran tante-tante tadi itu ia bertanya, “Kamu beneran pengen nikah?”

“Tergantung,” jawab Satria sambil memegang pinggang perempuan itu dan mengikuti gerak dansanya. “Kalau sama kamu ya mau.”

“Kalau sama perempuan lain?”

“Ya aku bilang ke mereka, 'Maaf, ya. Saya udah punya pacar,' abis itu aku ngadu ke kamu ada cewek aneh ngajak aku nikah.”

“Serius, Satria.” Naya menatap tajam.

“Aku udah serius, Kanaya,” katanya lembut. “Emang maunya nikah sama kamu.”

“Kalau aku gak mau nikah?”

“Ya gak apa-apa. Kita pacaran terus sampai tua. Aku siap main ke kosan walau udah encok dimana-mana.”

“Agak bucin, ya?” gelak Naya. Sesaat kemudian gerak kakinya berhenti. Kedua tangannya beralih merapihkan dasi Satria yang tidak berantakan. “Satria...”

“Ya?”

“Aku mau nikah... sama kamu...”

“Makasih udah berani speak-up.”

“Ih, Satria!”

Setelah pinggangnya dicubit, Satria mengambil tangan putih milik sang pacar. Ia genggam keempat jari Naya dan meletakannya di atas dada. Senyum Satria masih seperti idiot, ia juga mengakui hal itu. Memang karena setiap detik yang dihabiskan bersama perempuan yang sedang ada di hadapannya membuat Satria kehilangan akal sehat. Kehilangannya lebih membuat Satria gila lagi.

“What kind of marriage you have in mind, when you said you wanted to marry me?”

“The Most Awesome Marriage, of course. Kita nikah tema backyard party, kostumnya yang adem. Ngundang tamunya dikit aja, biar gak ada suara nangis bocil. Nanti aku minta Janna jadi Maid of Honour.”

“Yah, kalau gitu berarti aku harus jadiin Raihan Best Man, dong?”

“Nggak, nanti bilang aja aku request Joshua yang jadi Best Man, dia pasti nurut.”

“Oke, oke,” angguk Satria. “Terus?”

“We're going to move to new house, dibangun deket sungai. We're going to have three kids, a boy and two girls...”

“Iya, ya. Punya anak perempuan kayaknya lucu.”

“Emang, tapi kamu yang ngurusin, ya. Aku masih mau kerja di teater.”

“Oke.”

“Terus kita pelihara marmut di halaman belakang.”

“Boleh.”

“Nanti rumah ditanemin banyak bunga lavender.”

“Setuju.”

Naya pun terdiam. Sesaat menyadari bahwa omongannya selalu disetujui oleh Satria. Bulu mata yang tebal itu hampir menutup sorot mata, tapi Naya masih bisa merasakan bahwa Satria selalu melihat ke arahnya dengan hati besar yang tetap. Hangat yang selalu ia bawa, cinta bagai matahari sesuai dengan namanya.

“Adakah hal yang mungkin gak kamu setujui?”

“Hmmm, aku gak setuju kalau kamu nikahnya gak sama aku?”

“Tolong jangan dangdut terus ya, Bapak.” Naya menaruh kedua tangannya ke bahu pria itu. “Mana mungkin kamu nikah sama cewek batu kayak aku tapi gak punya hal yang mau diprotes?”

“Ya, protes pasti akan ada. Tapi pada akhirnya that's us. We will fight a lot and things will not go in our way, and it's okay. We handling it together.”

“What if I'm tired of handling things together with you?”

“Aku yang handle, sampai kamu gak capek lagi.”

“Kalau aku capek terus?”

“Ya kita keluar dari kerumunan tante-tante itu. Cari tempat baru, deket siomay atau mungkin lantai dansa. Sama anak-anak kita dan para marmut. Tapi, tetep bareng-bareng,” jawab Satria dalam metafora. “Let's have an awesome marriage together later.”

Naya menenggak ludahnya, berkata di bawah engah napas pelan dalam bisik. “Screw that. Let's have one soon.”

“Huh?”

“Satria Chandrawedi, will you marry me?”

Ia menjadi yang pertama meminta. Tanpa tekukan lutut atau cincin berlian. Mungkin itu alasan jantung Naya berdegup sangat kencang. Sembari menunggu jawaban dari Satria, ia ikut menimbang. Takut-takut akan ditertawakan, takut-takut akan ditolak mentah-mentah. Ekspresi lelaki itu tidak bisa dibaca. Naya bahkan sudah siap kalau Satria menjawab dengan “Makasih udah berani speak-up” lagi.

Gugupnya pudar ketika lelaki itu mendekat, mendaratkan bibir ke bibir dengan rasa yang manis. Pasti karena ia memakai chapstik rasa anggur yang selalu dipakai untuk acara yang menuntutnya terlihat rapi, atau mungkin karena pudding buah yang ia makan beberapa saat lalu. Apapun itu, Naya tidak peduli. Saat seperti ini otaknya terlalu lemah untuk peduli.

Dan ketika kepalanya kembali ditarik, Satria berkata lagi, “I will marry you every time you ask me to. Even if you ask me a thousand times, my answer will always be yes.”

Jadi, mereka kembali menari. Menari dan terus menari sampai kaki mereka sakit. Terpampang senyum yang tidak berhenti terukir dari wajah masing-masing. Meski terbesit gagasan bahwa malam itu akan berlalu dan esok datang dengan segala masalah baru. Setidaknya Naya tahu, ia akan menghadapi semua itu bersama Satria. Bersama seseorang yang tidak akan berhenti menjadi pundak tempat kepalanya bersandar.

Dan semua akan baik-baik saja.


:終わり