The Book of Lost Things

Mendorong pintu besi itu tidak memakan banyak tenaga Sekar. Pada jam-jam sekolah, memang pagar samping lapangan voli akan disegel dengan gembok Swiss dan terlilit lantai. Namun, tiap Jum’at sore, pagar itu akan dibiarkan bebas atas permintaan tim voli perempuan. Kang Maman, OB kebanggaan sekolah, dengan senang hati mengorbankan waktunya dan menunggu lapangan itu selesai dipakai. Ia merasa tidak akan bisa menang berdebat melawan perempuan. Apa lagi ketika tim tari saman ikut membela.

Decit suara sepatu dan gemuruh teriak menjadi sambutan konstan saat memasuki lapangan. Terpaan angin menderu dari ujung hidung sampai leher, akibat gerak-gerik lincah calon-calon atlit voli itu, juga menambah kesan sibuk. Sekar berjalan menelusuri bangku terbawah tribun sembari mencari sesosok perempuan. Punya rambut panjang dan biasa diikat acak-acakan. Punya jersey warna biru dengan nomor punggung satu. Punya amarah yang selalu meledak-ledak dan terbayang nama Abel di tiap dengus napas sebalnya.

Akan tetapi, perempuan tersebut tidak ada. Sama hasilnya ketika ia mencari sosok Aruna di tempatnya biasa berlatih.

“Kalau lo cari Abel atau Aruna, dua-duanya udah dibawa kabur temen gue.” Suara itu datang dari arah bahu kiri Sekar. Bersilang kaki dengan pandangan masih tertuju pada buku Bumi Manusia tertopang di tangannya. Rompi krim yang tak kunjung lepas meski musim kemarau, karena sebegitu manutnya ia pada peraturan, menampang identitasnya dengan bangga: Bayu Seno Aji, Si Wakil Ketua OSIS.

Sekar terlonjak. Ia butuh memegang bangku tribun untuk mencegah tubuh dari tergelincir. Cara Bayu berbicara bak badai es di tengah ketinggian gunung, sedangkan Sekar suka dingin dan mendaki. “Dibawa kabur?” ujarnya balik bertanya.

“Ya. Kalau dari pandangan gue sih gitu.”


Bayu sesekali memerhatikan gerak-gerik si jersey satu di tengah alinea kisah Minke yang dibacanya. Masih aman. Dua menit sejak Raka dan Runa pergi meninggalkan tempat latihan dan Abel belum menunjukkan tanda-tanda peka. Tidak sampai suara dari pintu utara menggema.

“MANA YANG NAMANYA ARUNAAAA, GUE MAU NGOMOONG!” Kaos merah terlindung warna senada itu asalnya bukan dari wilayah sini. Ikat kepala yang sudah berpeluh, bola jingga besar yang tidak berhenti terpantul; Kapten Basket Tarangga dengan senang hati bertamu ke wilayah asing.

Ya Allah, Rian, sahut Bayu dalam hati. Ia mengangkat buku tebal itu sampai menutupi seluruh wajahnya. Pura-pura tidak kenal. Berdoa agar manusia aneh itu tidak menyadari keadaannya di tribun.

Sementara itu, Abel punya refleks yang berbeda. Matanya berpaling menuju tempat latihan yang kini sudah kosong di sebelah lapangan voli. Aruna telah hilang. Lalu beralih lagi ke arah tribun. Raka juga sudah hilang.

Abel kecolongan. Dalam benaknya hanya ada bayang-bayang bahwa ia akan mendorong motor sendirian melewati tanjakan depan. Tanpa ia sadar langkahnya menuju tempat parkir terhenti oleh tubuh tegap Rian yang datang dari arah berbeda.

“Mana temen lo, Cil?”

“Harusnya gue yang tanya, temen lo di mana?” Abel masih berjalan lurus, melewati Rian dan segera berjalan ke pintu keluar, “Dia yang bawa Runa pergi.” Bayu menyaksikan hal ini dari jauh. Menganggap tugasnya sudah selesai semenjak Raka berhasil keluar dari lapangan.

Langkah jenjang milik Rian dengan cepat menyalip jarak yang diciptakan si perempuan. Ia berbalik, menghadang Abel dengan satu tangannya sebelum tangga menuju lapangan parkir. “Tunggu dulu. Lo sama keselnya kayak gue?”

Abel memutar bola matanya. “Jelas. Lo gak bisa liat asep keluar dari kepala gue?” jawabnya ketus. “Si Raka ngambil tenaga tambahan gue satu-satunya buat dorong motor cuma karena dia sekarang menjabat jadi supervisor.”

“Si Raka keluar dari basket,” timpal Rian datar.

“Serius?”

“Iya.”

“UDAH GILA ITU ANAK.”

“IYA KAN?”

Dengan koneksi berdasar pada rasa sebal terhadap Charakha Irawan Syaputra, kedua manusia ini akhirnya memutuskan untuk menghadang mereka di gerbang. Langkah mereka sama-sama menghentak. Bila dilihat, orang-orang mungkin akan salah kaprah mereka mau menagih utang.

“Temen lo kenapa sih, Yan? Udah tau Tarangga ada kutukan dia masih aja cari gara-gara,” keluh Abel di tengah jalan. Ia mendengar seluruh kisahnya dari Sherina sebelum waktu latihan di mulai. Rian, di lain waktu, tahu-menahu mengenai kejadian ini dari gosip sekolah yang lihai ia kumpulkan.

“Cari gara-gara gimana?”

“Ya, itu. Ngedeketin Aruna? Kutukan Tarangga kan selalu begitu polanya; Ketos dan Ketam deket, terus orang-orang liatnya kayak adem dan mulai berkespektasi sama mereka, Ketos dan Ketam ada konflik, konfliknya melebar. Jadi, deh... perang duna ketiga.”

“Jadi maskud lo, Raka sama Runa ada di timeline yang sama dengan para Ketos dan Ketam sebelumnya?”

Abel mengangguk. Itu membuat langkah Rian sedikit melambat. “Menurut lo mereka bisa jadi pengecualian dari kutukan Tarangga, gak?”

Kali ini, Abel menggeleng. “Siapa pun juga gak akan bisa. It’s like their fate already have been decided since beginning. Sama kayak lo nyuruh ayam latihan terbang. Mustahil!”

Rian terdiam. Di ujung jalan yang mereka lalui terlihat Raka di atas motornya. Tangan kirinya memegang helm, berusaha menahan gerak untuk memasangkan itu kepada Runa. Sementara si Gadis masih tertawa ceria, tangannya memegang sebuah buku hitam yang ia bolak-balik halamannya.

Terbesit pikiran mengenai sobat karibnya itu. Raka bukan tipe manusia yang ingin mengukir sejarah. Raka, walau memang terdengar menyedihkan, lebih suka membiarkan dunia membantingnya dan ia melewati semua badai sedikit demi sedikit. Ia menyelesaikan masalah seperti masang potongan puzzle, menikmati seluruh kebingungannya dan melihat hasil akhir dengan senyuman. Bukankah dengan memahami hal itu, ini semua terlihat seperti kemungkinan Raka mendekati Runa bukan untuk keegoisan harga diri, tetapi karena itu memang potongan teka-teki yang sedang ia lewati?

“Tuh, mereka belum pulang, Yan! Ayo-“

“Et, et, ettt!” belum sempat Abel memencak ke arah sejoli itu, dahinya sudah tertahan oleh telapak tangan Rian. Membuat kepalanya berhenti di tempat, meski badannya masih berusaha maju. ”Stop dulu, Cil. Gue berubah pikiran.”

“Lah, gimana sih? Beberapa menit lalu jelas-jelas lo gondok?”

Rian menatap ke arah Runa. Senyum yang ia ulas menunjukkan dua gigi depannya yang kotak. Mereka berdua sama bahagianya. “Sebagai teman yang baik, gue rasa kayaknya kita harus biarin mereka aja.”

“Biarin mereka bareng cuma memperburuk keadaan.”

“Apa yang bisa diperburuk kalau kita udah sama-sama tau akhirnya? They bound to break, might as well let them be happy first.” Rian berjalan melawan arah, menarik pergelangan Abel agar mengikuti petunjuknya. “Ayok balik, Cil. Gue bantuin lo dorong motor.”

“Tapi...”

“Gak ada tapi-tapi. Dengerin gue. Gue lebih tua dari lo.”


“Tulis di sini.” Raka menunjukkan sebuah buku hitam dengan corak putih acak. Mirip-mirip buku uang kas bendahara kelas. “Setiap lo punya uneg-uneg sama gue, tulis di sini. Nanti pas akhir masa jabatan gue, lo kasih. Gue juga ada buku khusus buat uneg-uneg gue,” tambahnya, menunjukkan buku serupa yang ia kubur dalam tas hijau tua kanvas itu.

“Apa faedahnya?” tanya Runa. Ia tetap mengambil si buku dengan senyum. Dibolak-baliknya tiap lembar yang masih kosong. Seakan-akan memeriksa akankah ada satu halaman berisi mantra anti sial.

“Lampiasan emosi aja. Sebelom kita mau ngungkapin apa yang mungkin sensitif diterima, kita tulis dulu. Abis itu kita baca ulang. Kalau emang ternyata penting banget diungkapin, baru kita kasih tau beneran.”

Aruna terkekeh. “Ini apa karena tadi siang gue manggil lo anak orang kaya?”

“Ya, sebagian besar karena itu sih,” Raka mengusap punuk lehernya, “sebagian besar lagi karena gue gak mau kita musuhan.”

Raka menatapnya teduh. Pertolongan yang ia minta tadi siang kini baru sampai ke pikiran Runa. Oh, dia minta tolong supaya gue kerja sama. Supaya kejadian yang orang-orang bilang gak berlaku untuk kita. Runa pun memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Tangannya pun terulur, menacung jari kelingking. “Janji sama gue selama lo rasa kalimatnya tepat, lo akan ngomong, ya?”

“Apaan ini?” Raka menunjuk tangan perempuan itu.

“Janji kelingking?”

“Kita udah gede, Run. Harus banget pake janji zaman SD lagi?”

“Di mata gue, lo masih Raka yang gue kenal dari SD,” Runa menatap wajah Raka, pangkal hidung pria itu berkedut, “bukan Raka ketos, bukan Raka anak basket. Bukan Raka dengan hutangnya yang menumpuk ratusan ribu di kantin. Just you. Plain. Simple. Old Charakha Irawan Syaputra. Anaknya bapak Rudi.”

“Yah elah,” Raka melengos, kepalanya mengelak ke belakang, “Baru gue mau terharu, Run. Lo main nama bapak.”

“Yaudah, jadi janji gak nih?”

Ia tersenyum, kemudian menautkan kelingkingnya ke tangan Runa. “Iya, gue janji. Anaknya Pak Joni.”


“Oh. Mereka semua udah pulang, ya?” gumam Sekar pada dirinya sendiri. Rasa kecewanya terpendar jelas dan ditangkap oleh mata Bayu.

Setelah singkat dan padat Bayu menjelaskan tentang keributan Rian, kepergian Raka dan Runa, dan amarah Abel, ia habis kata-kata. “Iya. Gue saranin lo pulang juga,” ujarnya membereskan buku tebal yang ia baca ke dalam tas biru.

Sekar mengangguk, tidak butuh waktu lama baginya untuk menuruni tangga tribun. Pandangannya lurus ke depan sampai ia mencapai kenop pintu. Pikirannya mengambang, sebagian besar diisi oleh Runa dan nasibnya besok. Sudah pasti Abel akan mengamuk hebat.

Ditariknya tuas pintu sampai tersingkap. Keheningan menyapu dan membawa ramai jauh menuju sisi belakang telinga. Baru lah suara yang teredam itu ia dengar; suara langkah kaki yang ada di belakangnya.

Sekar menoleh, mendapati Bayu.

“Kenapa?” tanyanya, menjinjing si tas hanya dengan sebelah bahu. “Gue kan juga mau pulang,” tambah Bayu.

“Nggak apa-apa. Kaget aja kirain gak ada orang.”

“Ya ada. Ini gue orangnya.” Bayu menutup pintu, kemudian berjalan melewati Sekar yang membantu. Tiga langkah ia menjauh, tetapi kepalanya sudah menoleh kembali. Pandangan itu tertuju pada Sekar. Ia bahkan tidak percaya. Tidak sampai Bayu berkata lagi; “Lo dijemput apa gimana?”

“Eh...? Nggak,” balas Sekar. “Naik metro.”

“Yaudah, ayo. Keburu sore nanti metronya habis. Gue juga mau ke depan.”

“Oh.”

Maka begitulah, hari berakhir bagi tiga pasang jenis manusia.


[TBC]