Senandung Sera

NulisBarengSVTW

Kisah pendek (yang kayaknya lumayan panjang) dalam rangka merayakan #NulisBarengSVTW. Perhatian: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kesamaan nama, latar, dan alur maka hal tersebut hanya kebetulan semata tanpa ada kesengajaan dari pihak yang menulis. Tapi keren banget kalau sama, cuy. Tandanya hidupmu adalah AU!


“Kan gua bilang, Geuring tuh baru-baru ini lemes banget kayak orang-orangan sawah,” kepala Bintang menyembul lebih dekat, suaranya kalah besar dari angin, “kata Janna, lagi punya masalah hati.”

“Walah? Seriusan anjir?” Mata Fauzi membelalak.

Siapa bilang laki-laki tidak tertarik dengan gosip? Congor Bintang, Fauzi, dan Wisnu adalah definisi terbalik dari kata cuek. Niat mereka berkumpul di lorong gedung Ilkom yang sebenarnya ingin membahas tentang rencana menghabiskan sabtu malam dengan bermain valorant, tetapi setelah disenggol sedikit saja, topiknya jadi kemana-mana.

“Wah, lo semua gak waras. Lima menit lalu lo curiga Asta orang tuanya tajir karena tuyul. Sekarang lo gibahin temen sendiri?” protes Wisnu yang sedang bersandar di tiang. Kakinya berselonjor pada pembatas lorong dan taman. Bila ia mendorong tubuh sedikit, membuat punggungnya menjauh dari tiang, Wisnu resmi goleran.

“Yee, yaudah kalo gak mau tau pasang earphone aja sono!” sahut Bintang lagi.

“Gue gak bilang gue gak mau tau. Gue cuma mempertanyakan moral kita aja.”

Siang yang panas membuat siapa pun tidak bisa melawan setan. Keramik merah yang menjadi alas lorong sepanjang 12 meter tempat mereka bernaung semakin mengeluarkan kesan jahanam. Hiruk pikuk mahasiswa komunikasi, sebagian besar berlarian karena terlambat masuk kelas ketiga, membuat situasi penat. Syukur-syukur, keempat lelaki kurang kerjaan ini membuang waktu dengan es teh manis kantongan. Traktiran Fauzi, tepatnya. Sebab kalau tanggal tua, ia yang paling kaya.

“Terus, terus? Menurut lo Geuring lemes karena sindrom GGS?” tanya Fauzi. Ia duduk dengan menumpu tangan ke lutut. Posisinya tepat di seberang si informan gadungan; Bintang.

“GGS apaan tuh?”

“Gundah Gulana Semrawut.”

“Udah gaul lo sekarang, Ji,” serobot Wisnu, ia melempar kulit kacang goreng. “Kenapa gak kita tanya aja kondisi Kanjeng Putri Monika Hirainata kepada bestie sehidup sematinya? Gue liat-liat manusianya juga sama-sama lagi ada pikiran.”

Kini ketiganya menoleh pada sosok lelaki keempat. Arjuna Maitreya. Juna. Junet untuk yang sudah dekat. Pelengkap Idiot Kuartet yang sedari tadi memilih diam sambil memperhatikan semilir angin panas menelusuri celah daun-daun akasia. Taman yang rimbun di samping lorong. Juna cukup rajin untuk datang pertama dan memilih posisi strategis itu. Bahkan lebih awal dari Wisnu.

“Net?”

“Hah?” Juna baru melongok setelah kakinya ditepok Fauzi tiga kali.

“Geuring kenapa gua tanya?”

“Gak tau.”

“LAAAAH?” sontak ketiganya melunjak.

“Dia ngambek sama gue kayaknya,” jawab Juna tanpa jeda. Matanya mengawang kepada manusia-manusia yang baru keluar dari pintu kamar mandi di hulu lorong. Ada yang berambut cokelat. Ada yang memakai celana pendek tukang pancing. Ada yang berambut pendek dengan gaya bob dan membuat Juna semakin ingat dengan perempuan yang sedang mereka bicarakan. “Beberapa hari yang lalu soalnya... gua ngajak dia kencan.”

Ada keheningan beberapa detik sebelum ¾ idiot itu meledak lagi.

“HAH? GIMANA?”

“Gatau ah.”

Junet tidak memberikan penjelasan apapun selanjutnya. Ia berdiri dan memilih memesan satu bungkus makaroni telur di kantin. Saat ia kembali, ketiga lelaki itu sudah membicarakan hubungan gelap antara dosen ilmu psikologi dan teknik sipil.


Momo tidak menyangka berita itu sampai ke telinga para idiot setelah lima hari. Ia kira tiga hari sudah cukup membuatnya dikepung seperti ini.

Di antara perjalanan menuju kelas terakhir dan parkiran motor, Momo menemukan dirinya digeret oleh ketiga oknum yang cocok dengan identifikasinya sebagai jamet. Bintang, Wisnu, dan Fauzi. Ketiganya melingkari perempuan itu setelah mengajaknya minggir dan berjongkok. Di samping tong sampah dekat Mushola Fakultas Seni, mereka mengadakan acara intervensi. Meski, perlu diakui, cara mereka berkumpul lebih mirip dengan sekumpulan anak SMA yang takut ketauan membawa rokok dalam celana kolor.

“Sadarkan diri lo, Geuriiing! Lo diajak kencan sama Arjuna Maitreya!” sergah Fauzi menyenggol siku kanan perempuan itu.

“Makanya lebih make sense gue tampar dia setelah dia ngajak.” Momo melipat kedua lengannya.

“Dih? Kenapa lo tampar, Anjir? Junet kan orang baik, udah kenal lo lama. Ganteng pula temen gue! Jangan bilang pas lo diajak kencan tiba-tiba lo meriang?” selidik Bintang. Momo dan panggilannya, Geuring, memang diciptakan karena observasi lelaki itu. Di awal-awal ia mengenal Momo dan meanyakan kabarnya, Bintang selalu mendapat jawaban ‘duh, gue lagi meriang’.

“Ya kalo lo pikir dia keren, lo aja yang kencan sama dia,” jawabnya ketus.

Wisnu, dari sisi kiri Momo, memangku tangan dalam tenang. Setelah runtutan deduksi yang otak Wisnu lakukan (untung saja otaknya masih berjalan), kalimatnya baru tertembak. “Lo gak percaya Juna serius, ya?”

“Dia orang yang nelpon gue waktu kelar pensi buat jemput, karena banyak cewek yang minta pulang bareng, Nu. Orang kayak gitu selama hidup pasti akan selalu dikelilingi cewek yang lebih baik.”

“Pernah kepikiran gak kenapa dia lebih milih nelpon lo?”

Nggak, sih. Momo selalu menduga Juna menelponnya berdasar dari kebiasaan. Sebelum Geng Loyo mereka terbentuk (terdiri dari tujuh orang; empat idiot, dirinya, Janna, dan Sania), Juna sudah mengenalnya terlebih dulu lewat proyek seminar. Momo menajadi pembicara, Juna lah pembawa acaranya. Mereka dekat karena sejarah itu. Sampai sekarang ia pikir, Juna selalu memilihnya karena absensi canggung yang terbentuk saat mereka bersama.

“Wah, Junet suka sama Geuring betulan, ya?” pikir Bintang dengan tangan mengorek tanah. Di atas pasir kotor itu ia membuat banyak motif bintang.

“Emang iya, Tang?” sahut Fauzi tidak percaya.

“Ya, lo liat aja barusan. Udah lama gue gak liat Junet diem kayak gitu. Gak nge-jokes garing. Gak nyanyi-nyanyi gak jelas. Bahkan gak ngatain lo pendek, Wisnu ansos, dan gue ngenes. Itu anak beneran lagi mikirin Geuring doang.”

“Kalau ini cara lo ngeyakinin gue buat nerima Juna. Lo gak berhasil, Tang.”

“Gue gak mencoba ngeyakinin lo, Mon. Gue lagi mengungkapkan pikiran gue. Kok sensi banget?”

Momo kalah argumen lagi.

“Jadi intinya lo suka sama Junet juga atau nggak?” pertanyaan pamungkas itu diluncurkan oleh Fauzi. Momo baru membuka mulutnya separuh. Kata-kata itu tidak bisa keluar. Sebagian karena memang sulit baginya untuk memilih jawaban, sebagian karena bayangan besar telah menghalangi matahari untuk mereka berempat.

“Gak baik gibahin orang di samping mushola.”

Mereka menoleh. Sosok jangkung itu berdiri sambil berkacak pinggang. Mulutnya membentuk garis tipis tak berlengkung; ekspresi yang sulit dibaca.

“Apa lagi yang digibahin ada sangkut pautnya sama gue.”

The Gibah Troops berhasil terpencar. Kini sisa Monika Hirainata yang harus menghadapi perasaannya dengan seorang Arjuna Maitreya.


“Ayo pulang” adalah kalimat pertama dan terakhir yang diucap Juna untuk Momo. Itu lima menit yang lalu.

Mereka berjalan dalam sunyi sampai ke parkiran. Ada rasa ingin mengutuk diri dalam hati Momo karena sudah membuat perjanjian untuk pulang bersama setiap hari jumat dengan lelaki ini. Kecanggungan yang biasa terdampar pada sisi gersang pulau, kini tumbuh dan memenuhi seluruh kota. Ia bahkan tidak sanggup mengangkat kepala. Hanya sepasang sepatu converse biru yang ia lihat. Terus berjalan ke depan, berharap bisa memutar arah.

“Masih marah?” buka Juna saat ia berhasil menemukan motor matic hitamnya. Kerincing suara kunci yang saling bertubrukan memudahkan Momo untuk meluruskan pandang. Kini, setengah wajah datarnya dapat dilihat Juna.

“Gak pernah marah.”

“Terus?”

“Bingung.”

“Mau cerita kenapa?” Kalau enggak mau juga gak apa-apa. Juna dengan sengaja melupakan kelanjutan kalimat itu.

“Mau. Lebih tepatnya pengen nanya.”

“Oke. Mulut gue selalu bersedia menjawab.” Juna berakhir kembali meluruskan standar motor. Dikembalikan setang ke posisi miring arah kiri. Kedua tangan terhempas untuk menunggu lanjutan dari perempuan itu.

“Lo beneran suka sama gue?”

“Ya.”

“Sebagai apa?”

“Manusia.” Juna meluruskan kaki. Mencoba menahan tawa akan leluconnya sendiri. “Ya masa gue suka lo karena lo setan, Mo.”

Iya, bener juga sih. Momo menggaruk kulit kepalanya, sedikit merasa kikuk. “Ada alasan tertentu, gak?”

“Kenapa tanya gitu?” mata Juna memicing, “Gue tau tabiat lo. Kalau gue kasih tau apa yang bikin gue suka sama lo. Lo bakalan merubah diri supaya gue gak suka sama lo lagi.”

“Lo emang kenal gue, ya, Jun,” jawabnya dengan kekeh. Berat di punggungnya sedikit terangkat. Dengan satu kalimat yang keluar dengan santai, Momo merasa orang di hadapannya masih seorang teman lama. Masih seseorang yang bisa ia ajak bicara dengan mudah.

“Lo gak usah berubah. Ngerepotin diri sendiri. Mau gimana pun gue suka sama lo.”

Akan tetapi, teman lama itu makin sulit ia lihat ekspresinya.

Sejak awal mereka bertemu, Juna punya cara untuk berteriak bahwa ia bisa dipercaya. Bahkan dalam keadaan diam sekali pun. Seringainya yang bergusi, ekor mata yang mengkerut; Juna membuat Momo merasa seperti kembali ke taman anak-anak. Ia datang untuk mengajak bermain. Belum lagi anggukan polos dan pertanyaan bertubi-tubi; pribadi Juna yang selalu penasaran membuat orang merasa ingin dimengerti. Caranya berpakaian; bebas, unik, dan berani. Juna tidak mempedulikan perkataan orang lain. Ia menentukan hidupnya sendiri dan sulit untuk menemukan itu dalam diri seseorang.

Monika punya banyak alasan untuk menyukai lelaki ini. Ia hanya tidak menemukan alasan kenapa Arjuna harus menyukainya.

“Ada sesuatu dari belakang kepala gue yang bilang, kalau lo orangnya.” Juna menjawab pertanyaan itu dengan helaan napas panjang mengikuti. Pikirannya terbawa melintasi garis waktu. “Awalnya gue pikir cara lo kerja. Selalu serius dengan ujung hidung lo yang mengkerut. Gue pikir lucu. Tapi pas itu gak ada juga, gue masih suka sama lo.

Terus gue kira cara lo selalu ngembaliin jokes gue. Humor lo selevel bapak-bapak dan gue selalu terpicu untuk menyaingi. Tapi pas lo gak punya mood ngelucu juga, gue juga masih pengen liat lo ketawa.

Akhirnya gue pikir... mungkin karena lo perhatian sama gue. Mungkin karena waktu-waktu yang korbankan pas gue minta tolong. Mungkin karena lo mau dateng ke kosan bawain bubur pas gue sakit. Mungkin karena lo mau lari pagi bareng waktu gue bilang perut gue agak buncit. Hell, bahkan gue pikir mungkin karena lo mau menjawab pertanyaan eksistensi gue waktu gue lagi krisis identitas, Mo.

Tapi gue sadar, waktu lo gak ada... waktu bukan lo yang buat usaha buat perhatian duluan... gue justru mendapati diri ngasih lo perhatian lagi.”

Derap langkah kaki kerumunan terdengar dari kejauhan. Pukul setengah enam sore. Batch pertama para mahasiswa aktivis baru pulang di waktu ini. Tanpa perlu waktu lama, jalan setapak di sebelah tempat parkir dipenuhi orang-orang yang menemukan mereka. Kasak-kusuk penuh penasaran pun meluap. Ada rasa menggigil yang diperoleh tengkuk Juna. Tidak tau asalnya dari para audiens, atau dari angin barat anakan senja.

Juna memutuskan untuk melepas outer kemeja putihnya. Bila ia rasakan dingin, maka perempuan di hadapannya juga. Maka, terbalut sudah kedua pundak Momo dalam pakaian ekstra. Wangi minyak rasa kayu cemara dan sedikit musim gugur pun ikut terbawa

“Setelah itu gue putuskan, suka sama lo gak ada alasannya,” sambung Juna. Ia menarik perempuan itu lebih dekat demi mengancingkan kemeja. Memastikan celah kulit yang dicipta oleh crop top abu-abu yang Momo kenakan tertutup sepenuhnya.

“Lo gak takut kalau ternyata suara di belakang kepala lo itu salah?” Momo bisa melihat ubun-ubun lelaki itu. Surai cokelat yang mengakar dan figur kepala dari atas. Lebih baik begini, sebab Juna dekat sekali.

“Kenapa harus takut?” ia mendongak, menatap lurus dengan lembut. “It's you and me. It's us. We always finds a way at the end.”

Senyumnya merekah. “Oke,” sahut Momo cepat.

“Oke?”

“Iya, oke.” Momo menarik kedua tali helm lelaki itu, mengancingkannya dengan sigap. “Ayo kencan. Makan pecel lele sambil minum sekoteng. Pulangnya kita main Dance Dance Revolution di timezone. Yang skornya lebih rendah kalah, harus jadi babu buat yang menang sampai senin.”

Arjuna terkekeh. “Oke. Setuju.” Ia memiringkan kepala. “Terus gue nyium lo-nya kapan?”

“Setelah lo anter gue pulang, sampai depan gerbang rumah. Kalau skor Dance Dance Revolution lo lebih tinggi,” jawab Momo dengan seringai yang sama.

“Jangan sengaja kalah loh.”

“Your wish.”

Sayangnya, Juna lupa kalau Momo masuk ke dalam anggota unit tari kampus bersama Bintang. Hari itu skornya terkalahkan 50 poin.

Juna pun resmi menjadi pembantu setia Momo sampai hari senin. Perintah pertama darinya, dengan mengejutkan, lebih mudah dari yang ia kira.

“Can you play the second date, please?”

Sebuah permintaan yang konyol.

“Yes. Of course I can.”


“Eh, lo tau power couple USABLON yang baru, gak?”

“Teh Naya sama Bang Satria?”

“Aih, itu sih gosip lama. Itu loh, vokalis band underground sama speaker seminar career talk.”

“Jangan bilang....”

“Iya! Monika Hirainata akhirnya pacaran sama Arjuna Maitreya!”

“Buset... setelah sekian tahun lamanya?”

“Ya. Setelah dua bulan hubungan tanpa status, gue rasa.”

[FIN]