Selamat Hari Pacar, Pacar!

Detak jantung jam dinding itu terasa lebih hidup. Kenapa waktu rasanya berjalan penting saat kita tunggu?

Kanaya sendiri benci jika ia harus menghitung waktu. Namun, sejak Satria bilang bahwa ia akan datang ke kosan, rasa-rasanya ini waktu yang tepat untuk Naya bersiap. Tidak akan ada yang tau apa yang dapat muncul di balik pintu.

Satria adalah rajanya perayaan besar. Waktu anniversary mereka yang pertama, lelaki itu mem-booking dua tiket ke Bali. Waktu Mamanya Kanaya ulang tahun, dia lemparkan sebuah pesta kejutan dengan lebih dari 100 orang alumni Universitas tempat Mama berkuliah. Waktu Pesto (nama anjing Naya) akhirnya sembuh dari sakit perut, ia juga yang membelikannya satu set rumah anjing dan mainan baru.

Singkat kata; Satria lebay.

Banyak temannya yang ingin berdiri di kaki Naya. Kapan lagi ya, Bun, punya cowok setia udah gitu rela belanjain situ? Iya, tapi kapan lagi punya laki yang tingkah impulsifnya tidak bisa dikontrol oleh pihak mana pun? Obsesi Satria menangkan hati orang lain, menurut Naya, sudah tidak sehat. Sudah sampai taraf kalau ada orang yang menyuruhnya lompat ke jurang demi menyenangkan hati orang itu, Satria pasti akan lakukan.

Ting-tong!

Lamunan tentang tingkah si pacar itu mendadak berhenti. Langkahnya ragu untuk mendekati pintu. Di balik putaran kenop itu, ada sesuatu yang menunggu Naya. Dan apa pun itu, sudah pasti ia tidak sanggup membalasnya; sudah pasti ia tidak enak menerimanya.

Naya menghela napasnya dan menghitung sampai tiga. Dibukanya pintu itu cepat, menunjukkan figur Satria yang familiar dan penuh aura cerah.

“Selamat hari pacar, Pacar!” sambutnya, membawa sebuket bunga berwarna biru─jenis jelasnya, Naya tidak tau.

Kehadiran Satria berhasil membuat mulut si pacar menganga. Telah terkatup dua buah tangan itu di hadapan wajahnya, menutupi ekspresi kaget yang tidak dibuat-buat. Ekspresi yang menggemaskan.

“Udah boleh masuk, belom?” tanya Satria melanjutkan.

“NGGAK!” bentak si pacar. “Apa-apaan kamu main masuk dengan keadaan begini? Rambut acak-acakan, muka kayak orang abis digebukin warga.... IH ITU CELANA SAMPE KAKI KOTOR! KAMU HABIS MAIN DI GOT?”

“Ohh, ini ceritanya panjang! Nanti aku ceritain di dale─”

“Nggak! Nggak! Rumahku gak nerima orang buluk! Cuci kaki dulu pake selang di depan, biar aku ambil kotak P3K.”

“Well, I got you presents tho...”

“But you also give me hell. Cuci kaki. Cepet. Gak pake tapi.”

Maka Satria pun menurut. Ia membuka sepasang sendal bermodel slip-in itu dan mencuci kakinya di teras depan kontrakan Naya. Pikirannya sedikit menerawang; Apa yang salah?


Satria berjalan gontai masuk dengan sepasang kaki setengah kering. Ditutupnya pintu itu dam lekas ia berangkat ke ruang tamu. Dua anak tangga tidak menghentikan kaki pincangnya untuk berjapan senormal mungkin; berharap Naya tidak sadar bahwa seluruh tubuhnya terasa bak sedang dihujani batu-bata.

Akan tetapi, sisi menakjubkan dari perempuan adalah rasa peka mereka.

“Udah?” tanya Naya menatapnya dari sofa kain panjang berwarna cokelat terang.

Satria membalas dengan anggukan. Dibenarkannya ikatan plastik yang melingkar di jemari, berat hadiah itu masih ia tampung dengan hati-hati.

“Kalau udah sini duduk,” katanya lagi, menepuk bagian kosong sofa itu. Satria pun menurut, sembari menaruh hadiahnya di atas meja kaca si teman furnitur.

Kemudian ia letakkan ambil buket bunga sedang yang sempat Naya tolak, kini di bawa kembali ke hadapan si pacar. Raut perempuan itu penuh pertimbangan, entah mau menghukum Satria atau justru berbuat baik padanya. Namun, sesaat senyum tulus dari Satria terukir di wajah, Naya menghela napas kesal karena tidak bisa menolak buket itu.

“Nah, gitu dong,” ujar Satria senang.

“Makasih,” balasannya datar. Naya kemudian menghirup aroma si Bunga Biru sejenak. Dia temukan ternyata lebih mirip bau tanah. “Ini kamu metik sendiri?”

“Betul!”

“Itukah alasannya kenapa celana kamu isinya tanah semua?” tunjuk Naya.

“Euh...” suaranya meragu.

Sekali, Naya mengeluarkan lelahnya dalam bentuk helaan napas. Ia lanjut menggulung celana jins Satria yang kotor agar tidak menyentuh lantai. Ini lah yang Naya maksud dengan berlebihan. Satria rela membahayakan dirinya bila itu artinya membahagiakan orang lain.

“Sini lukanya dibersihin dulu,” perintah Naya setelahnya, ia membuka kotak P3K kecil itu untuk mengambil kapas dan obat merah.

“Mending dibuka dulu hadiahnya. Aku tadi masakkin kamu─”

“Nggak. Bersihin dulu. Nanti kalau lukanya jadi borok, mau muka gantengmu ilang?”

“Tapi masakan aku lebih enak dimakan pas lagi anget, Nay.”

“Alah, bilang aja takut sama betadine.”

“Nah, itu tau.”

“Yeeeeee, kan bener! Kamu emang cemen. Berani digebukin warga doang, kena betadine malah keok,” sorak Naya sambil menarik dagu pacarnya lebih dekat. Ia mulai memeriksa satu persatu lecet yang tidak tau penyebabnya apa; di pelipis, hidung, mulut, sampai rahang pun ada. Ini sudah pasti akan menimbulkan bekas bila dibiarkan begitu saja. “Kalau takut, merem,” lanjutnya, mulai menepukkan kapas pada luka itu.

“Gak deh. Tar muka pacar gue gak keliatan.” Komentar Satria itu dihadiahi tatapan jijik oleh Naya. “Ya, kan biar kayak Dilan, Nay, ceritanya.”

“Iya, deh, Dilan. Coba cerita dong, kok bisa dateng ke rumah Milea kayak abis nyolong motor? Bukannya Dilan tuh udah masuk geng motor, ya?”

Satria tersenyum. “Jujur. Ini sih, kalau ada yang harus dimarahin, harusnya Raihan.”

“Kok jadi Raihan?”

“Soalnya dia yang ngasih ide nyuruh aku buat hadiah pake usahaku sendiri. Awalnya aku udah kepikiran mau masakkin kamu, tapi ternyata telor di rumahku abis jadi aku harus beli, kan? Nah terus aku mikir lagi nih; kalau beli, berarti aku gak usaha, dong? Yaudah jadinya aku ngambil telor sendiri di kebun tetangga. Udah izin kok, tenang aja. Cuma namanya juga ngambil telor ayam orang kan ya... jadi ayamnya yang gak kebiasa...”

“Tunggu-tunggu,” potong Naya. “Maksudnya luka ini didapet karena dipatok ayam?”

“Enak aja! Nggak!” seru Satria. Sesaat kemudian matanya sedikit berkedut untuk menghindari obat merah dari tangan si pacar. “Aku gak dipatolk, dong! Aku berhasil menghindar dari mereka. Cuma mukaku ancur karena nyusruk pagar.”

“Gusti Tuhan Nu Agung...” sebutnya. “Terus, tanahnya gimana?”

“Itu lain cerita. Setelah aku dapet telor dan berantakin dapur...”

“Masak?”

“Iya, masak. Setelah itu aku masukin tempat kan, itu yang di atas meja. Cuma aku takut rasanya gak enak jadinya aku pikir bagusan punya hadiah lagi gak, sih? Yaudah terus aku mikir kasih kamu bunga, deh!”

“Bunganya kamu beli?”

“Nggak. Aku ambil juga dari tetangga sebelah.”

“Allahuakbar.” Puan itu menepuk dahinya frustasi. “Tetangga sebelah? Pak Jodi?”

“Ya!”

“Yang punya anjing?”

“Ya...” jawabnya melemah. “Jadi lah; aku! Pacarmu yang lagi kamu obatin ini.”

Kanaya hanya bisa bergeleng memberi tanda heran yang tidak berhenti-henti. Ditaruhnya kembali kapas dan obat merah itu, proses pengobatan selesai setelah cerita Satria berakhir. Si Perempuan hanya menyisakan gelak bingung untuk Satria yang masih tersenyum dengan manis. Lelaki itu menunggu, ia menginginkan komentar dari Naya yang masih saja tertawa ke arahnya.

Setelah reda, ia menaruh satu telapaknya di pipi Satria, kemudian bertanya sungguh-sungguh, “sakit, gak?”

“Nggak. Tadi pas nyetir mobil sih agak sakit. Sekarang nggak.”

“Kok bisa?”

“I don't know,” jawabnya, sembari mengelus pergelangan tangan Naya pelan, “maybe not only because your happiness makes me happy, it's also because the pain is vanish whenever I see you smiling.”

“Jadi kamu mau bergantung pada orang lain untuk perasaanmu sendiri?”

“Nggak juga.”

“Then what is it make me?”

“Some kind of absolute epiphany.”

“Eleborate.”

“Sebuah kebahagiaan tidak terduga yang sudah pasti. Kebahagiaanku gak ada di kamu, tapi udah pasti kalau aku berusaha untuk buat kamu bahagia, dia pasti datang. Kayak sesuatu yang asti di ketidakpastian kehidupan gitu loh, Nay. It's always nice to know you still care. It's always nice to know that you are happy. Ngerti?”

“Nggak,” gelengnya.

“So, are you gonna be mad at me?”

Naya terkekeh. “Nggak juga.” Ia mendekatkan wajahnya, memberi kecupan singkat pada sisi bibir Satria yang tidak terluka. “I think you are the sweetest boy I've ever met, and I'm lucky to have you.”

Satria membalasnya dengan senyuman tipis. Bulu-bulu matanya hampir bersatu di tengah mata yang menyempit. “Selamat hari pacar, Naya.”

“Selamat hari pacar juga, Satria.”


“Tar dulu, deh. Aku cobain duluan telornya. Takut gak enak,” cegah Satria sesaat setelah Naya mengambil wadah plastik itu dari dalam bungkusnya.

“Loh? Gak boleh gitu, dong? Ini kan hadiahku, kok kamu makan juga?” hindarnya tidak mau kalah.

“Ih, kan takut gak enak, Naaaay!”

“Enak. Pasti enak. Nanti kalau gak enak, kan aku jago akting.” Naya pun menyendok telur itu dan langsung memasukkan sesuap penuh ke dalam mulutnya. Dikunyah dengan perlahan.

“Eh-” Satria tidak dapat mengelak rasa cemasnya. “Kalau gak enak dimuntahin juga gak apa-apa.”

“Sat...” katanya setelah menelan.

“Ya?”

“Keasinan.”

Sesaat, ulu hati lelaki itu seperti ditarik oleh beribu-ribu pion kecil yang hidup.

“Kamu kebelet kawin, ya?”

“HEEEEEH!”


:終わり。