Pelarian Sebuah Karavan
Proyek gegabah sebagai bentuk perayaan post-drama depression #OurBelovedSummer.
Introducing: Choi Wooshik sebagai Edgar Chadhuri. Kim Dami sebagai Amy Dellastra.
“Spill.” Suara kayu terketuk oleh bagian bawah gelas kaca membuat Eddie berhenti dari kegiatannya. Es teh manis. Memang kalau sedang berpergian jauh, Amy selalu memilih minuman itu. Kombinasi udara sore dan teh selalu mengingatkannya dengan rumah nenek.
Eddie mengambil si gelas. Embun dari es yang beradu dengan hawa panas air teko sebelumnya kini menetes ke sela-sela jari. Rasa manis keterlaluan—karena memang begitu cara Amy menikmati teh manis—merebak ke rongga leher Eddie sampai membuat matanya lebih menyipit. “Apa yang harus di-spill? Teh-nya?
“Ya, bukan, dong.” Amy menyingkap kaki Eddie, menyisakan ruang lebar baginya untuk duduk. Ternyata, Eddie memakan cukup banyak tempat di sofa mini karavan mereka. Buktinya, Amy langsung bisa menyilangkan dua lututnya setelah itu. “Tapi kalau kamu mau buang teh-nya karena kemanisan lagi, mending kasih ke aku aja. Kebetulan beberapa hari ini aku darah rendah.”
“Syukurlah,” Eddie menjauhkan gelas tehnya yang tidak kalong lebih dari tiga senti, “aku kira kamu mau ngasih aku kolesterol.”
Beberapa hari yang lalu—tepatnya, dua hari—permintaan mendadak dari Eddie datang lewat pop-up notifikasi Amy. Ayo jalan-jalan. Ajakannya semudah menghirup asap knalpot ibu kota. Bagian sulitnya adalah syarat yang mengikuti, apa lagi itu baru diutarakan Eddie sehari sebelumnya. Naik caravan. Seminguuu aja.
Seminggu. Bagi Amy si penulis serabutan, sih, memang tidak masalah. Namun, keadaan Si Pacar yang kerap mendapat panggilan untuk melakukan photoshoot justru menjadi saklar rusak dari lampu ide Amy. Ia menyadari, sesuatu pasti ada yang salah. Sebab mengenal Eddie selama tiga tahun, default pertahanan pria itu memang berlari.
Setelah berkendara cukup jauh ke arah utara—menurut ulasan yang didapati Eddie setelah berselancar di reddit, daerah itu penuh dengan perbukitan—mereka menemukan tempat istirahat. Di tengah hutan rindang cemara. Di tengah antah berantah. Di tengah waktu burung anis bercicit menyambut senja.
“What exactly made you run this time?” tanya Amy untuk yang kesekian kali. Ia melepas ikatan rambut. Udara sejuk perbukitan membuat lehernya dingin. Beruntung setelan baju sweater putih gading dan celana panjang jeans-nya mengurus bagian tubuh yang lain.
Eddie bangkit dari dinding karavan, kemudian bersila supaya mereka berhadapan. Sebagian besar, Eddie memang ingin menyimak gerak-gerik Amy. Sebagian kecil dari dirinya melakukan itu agar si pacar tau ia serius. “Kerjaan,” jawab Eddie sederhana. Ia memangku dagu. Kuku jari telunjuk dan jari tengahnya digigiti secara tidak sadar.
“Bohong,” Amy mengambil tangan itu, menjauhkan kukunya agar tidak semakin keropos.
“Serius.”
“Kamu bukan tipe orang yang kabur karena kerjaan numpuk. Kamu suka kerja.”
“Aku suka kerja kalau ada tujuannya.” Eddie menghela napas. Sepertinya memang cepat atau lambat, Amy mampu membuat batinnya berteriak. Sambil melucuti sisa benang dari rompi wol birunya, ia melanjutkan, “Entah kenapa makin ke sini, kok, kayaknya kerjaanku repetitif dan gak bawa aku kemana-mana.”
“Is this middle-life crisis?” gelak Amy.
“I’m waaay older than the middle-life itself, Sweetie. I’m thirty-two!” serunya dengan ekspresi agak kecewa. “Umurku 32 tahun dan aku rasa pencapaianku belum ada apa-apanya.”
“Kan, mulai lagi.”
“Apa?”
“Kebiasaanmu jahat ke diri sendiri.”
Eddie masih ingat pertama kali Amy meledak. Kepalanya tertimpa kotak sepatu saat ulang tahunnya yang ke-30. Amy—si pemberi hadiah sepatu tersebut—menyerukan hal serupa: “Kenapa, sih, hobi banget nginjek diri sendiri. Kenapaaa?” Ia turut menangis saat mendengar bahwa Eddie berpikir usianya kini tidak hanya berperan sebagai angka, melainkan juga sebagai penghalang.
“Apapun yang kamu pikirkan tentang dirimu sendiri… kamu lebih dari itu!”
Amy punya hawa mentari. Entah terlalu terang, terlalu membakar, atau terlalu megah bagi Eddie yang hanya menempatkan dirinya sebagai aliran tenang air sungai. She’s the kind of person who blooms all the flowers, raise all the creature, sung the melody of warm breeze and starry dusk.
Namun tanpa menghiraukan monolog puitis Eddie, Amy terpatri remang-remang khusus untuk dirinya sendiri.
“Denger,” kedua tangan halus itu hanya sanggup menangkup satu telapak Eddie, “kalau kata Natsuki Takaya; we have our own pace.”
“Dari buku yang mana lagi itu? Kamu tau aku males baca.”
“Itu kenapa aku suruh kamu dengerin dulu, bukan protes.”
Eddie hanya mengangkat kedua alisnya, tanda kekalahan. Ia memutuskan untuk menikmati dingin tangan Amy. Perempuan itu memegang gelas es teh terlalu lama.
“You’ve been running your whole life. If you feel like you’re lost, maybe it’s because the route has not set yet. Mungkin itu tandanya jalan kamu itu… kebebasan.”
“Kebebasan?”
“Iya,” angguknya, “mungkin bukannya gak ada tujuan, tapi kamu… maksudnya, kita… diperbolehkan kemana-mana.”
Amy berakhir tidak yakin akan perkataannya sendiri. Satu dari banyak ketidaksempurnaannya yang sering keluar pada saat tak tepat. Namun, di balik ragunya yang semakin membesar, lebih besar kekhawatiran yang dapat Eddie tangkap.
“So, you mean… I could be anything I want?”
“Sure.”
“Kalau besok aku leha-leha gimana?”
“Gak apa-apa!”
“Kalau besok aku mau buka galeri lagi?”
“Aku ikut bantu! Aku bisa pikirin konsepnya.”
Untuk sesaat, Eddie menatap siluet pohon-pohon cemara yang tertiup angin. Beberapa detik kemudian tatapannya kembali. Bak ia selepas berpikir. Bak ia baru berani melepas batinnya sekali lagi.
“Kalau besok aku malah lari lebih jauh lagi?” suara Eddie merendah.
Amy hanya tersenyum. Deretan gigi putihnya kontras dengan hidung merah yang mulai terpengaruh dingin.
“Aku selalu di sini… jadi tempatmu pulang.”
Begitulah: Amy. Pujangga bahkan dalam racauan. Penikmat teh manis dengan bibir rasa gula. Eddie menjauhkan wajahnya setelah menikmati sisa aroma jasmine dari kecupan singkat itu.
“Let’s hit the road home, us.”
“We’re already here.”
—discontinued, undoubtedly.